Setiap hendak menulis tema ini, keraguan selalu menyelimuti.Maka, gagal dan gagal lagi. Dead line terlewati. Suara redaktur dari ujung telepon kembali mengingatkan, “Kapan Mas, tulisan di-email?”
Saya diam. Ini salah saya. Garis mati telah terlewati. Itu artinya saya telah merugikan orang banyak. Jadwal penerbitan jadi kacau. Tentu pembaca kecewa!
Tapi inilah kesulitan saya. Selalu muncul pertanyaan, jangan-jangan setelah tulisan rampung dibuat, lantas naik cetak dan beredar ke pembaca, data-data yang saya tampilkan tidak aktual lagi. Sementara kolom yang memuat tulisan ini bernama “sorotan”, yang mengharuskan aktualisasi tema dan data yang diangkat.
Memang, ini bukan soal tema fluktuasi nilai rupiah di jaman krisis ekonomi. Setiap jam, mungkin menit, selalu berubah. Tapi siapa berani mengatakan bahwa bencana [di Indonesia] adalah sesuatu yang statis, terjadi dan berhenti dalam tempo panjang.
Mula-mula tulisan ini hendak dibuat saat kapal motor Senopati Nusantara tenggelam dan menewaskan ratusan jiwa, akhir Desember 2006. Tapi saat proses evakuasi dan pencarian korban hilang belum berakhir, sebuah bencana kembali menguncang, pesawat Boeing 737-400 Adam Air jurusan Surabaya-Menado jatuh dari langit Sulawesi, Januari lalu. Awak pesawat dan 85 penumpang tak bisa ditemukan. Tewas, tapi entah dimana kuburnya?
Saya jadi gamang menulis. Jangan-jangan …
Ah … ternyata peristiwa langka terjadi. Bencana banjir mengurung Jakarta, awal Pebruari 2007. Bagaimana bisa terjadi, Jakarta, sebuah indikator kekuatan ekonomi dan kemajuan teknologi dengan cepat dilanda air bah yang kemudian mengubah ibukota Republik Indonesia jadi sebuah dusun abad ke-17 yang rapuh?
Berhentikah bencana? Tiba-tiba Boeing 737-300 Adam Air mengalami insiden saat pendaratan di Bandara Juanda Surabaya, 21 Pebruari.Sebanyak 148 penumpang mengalami guncangan psikologis. Esoknya kapal motor penumpangLevina 1 terbakar di Selat Sunda. Jatuh puluhan kurban jiwa. Ratusan yang terpukul jiwanya.
Berhentikah? Ternyata obyek yang sama menyebabkan bencana susulan: dua wartawan televisi dan dua anggota Puslabfor Polri, meninggal saat melakukan kegiatan olah TKP KMP Levina 1.
Berhentikah bencana?
Hujan deras yang mengguyur Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) selama lima hari terakhir mengakibatkan longsor di sejumlah tempat. Puluhan orang meninggal dan terkubur hidup-hidup.
Sekali lagi, berhentikah bencana … dan siapkah tulisan dibuat?
Sampai di sini, keraguan saya tepiskan. Di samping karena tidak mau mengecewakan pembaca terlalu lama, terselip harapan semoga bencana tidak lagi beruntun terjadi, menambah daftar duka bencana di Indonesia.
Sejak gelompang Tsunami yang menelan ratusan ribu penduduk dan memorak-porandakan infrastruktur Aceh, akhir 2004.
Juga gempa di Jogjakarta Mei 2005. Gempa Pangandaran Jawa Barat. Banjir susul menyusul. Kereta saling-tabrak, anjlok dan terguling. Angin dan badai yang menyapu. Mobil, bis, truck, sepeda motor, penarik sepeda ontel, penyeberang jalan, yang saling serobot dan berdarah-darah.
Flu burung yang menakutkan. Wabah demam berdarah. Dan yang tak kalah dasyatnya: semburan “abadi” sumur gas Lapindo di Porong, Sidoarjo. Korban jiwa, harta benda, ruang publik, dan harga diri tergerus panasnya Lumpur. Entah sampai kapan ..?
Kuasa Ilahi
Bencana datang, siapa salah?Mungkin inilah jawaban kita: penyebab bencana saling silang. Pertautan antara fenomena alam dan manusia: teknologinya, juga keteledorannya. Layaknya sebuah irisan dalam himpunan matematika.
Seperti banjir Jakarta. Ada hujan deras, ada kerakusan manusia. Hutan Puncak Bogor ditebas, juga resapan-resapan Jakarta dibeton.Ada pula tangan birokrasi yang bisa mengapuskan rencana pembangunan sebuah taman dan menjadikannya sebuah mall terbesar di Indonesia!
Tapi bagaimana menjelaskan keteledoran manusia dalam gelombang besar Tsunami Aceh? Juga bagaimana dengan bangunan-bangunan kokoh di negara bagian Alabama, Amerika Serikat, hancur oleh Tornado. Demikian pula badai Katrina yang memorakporandakan kawasan New Orleans, di negara bagian Louisiana? Sebuah human error?
Maka irisan antara alam dan manusia tidak pernah cukup untuk menjawab apa dan siapa di balik setiap bencana! Bencana, seperti kuasa ciptaan Tuhan lainnya adalah ayat atau tanda-tanda.
Penciptaan alam semesta dan segala isinya; keserasian dan keteraturan jagad raya; keindahan dan keunikan alam raya; keanekaragaman makhluk hidup; silih bergantinya siang dan malam; adalah di antara tanda-tanda kekuasaannya (Al Baqarah/2:164).
Demikian pula fenomena dan peristiwa-peristiwanya, yang terjadi berulang-kali atau yang hanya terjadi sekali, ataupun bencana yang menimpa manusia dan alam semesta adalah bagian dari kekuasaan Allah : “Tidak ada satu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidal pula) pada dirimu, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Al Mahfuzh), sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap yang diberikannya kepada kamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Al Hadiid/57:22-23; baca juga Al An’am/6: 65).
Jadi, bencana adalah bagian dari kuasa Ilahi. Kita tak punya kuasa menolaknya. Juga menyebabkannya. Apa pun peran alam dan manusia dalam irisan penyebab bencana, hanyalah bagian semesta himpunan dari kuasa Ilahi.
Kita hanya bisa mengambil hikmah dan pelajaran: harus semakin arif terhadap alam. Juga disiplin berperilaku. Sembari tetap sadar, bahwa kuasa Ilahi meliputi segala sesuatu. Maka, tunduk dan pasrah pada Ilahi adalah hikmah terbesar dari sebuah bencana.
Tapi tidak cukup dengan itu, sebab kuasa Ilahi bukan hanya berlaku untuk bencana. Senang, tenteram, aman, selamat, sehat, bahagia, adalah juga kuasa Ilahi.Bukan seperti ketika melihat oarng mati tergilas tronton, lalu kita berucap, “Ini takdir Allah!” Sementara saat kita ketiban rizki mobil Jaguar kita menyombongkan diri, “Inilah bukti kesuksesanku!”
Rizki, kecukupan dan kemewahan adalah juga bagian kuasa Ilahi. Mungkin ini yang malah sering tidak kita sadari. Kita merasa bahwa semua kesuksesan adalah bagian dari kuasa kita, dan bukan takdir Tuhan!
Apakah sikap ini yang membuat Allah mencambuk kita dengan bencana? Wallahu a’lam!
Mohammad Nurfatoni
Menganti, 6 Maret 2007
[Dimuat pertama kali di Majalah Muslim, Edisi 3 Maret 2007]