Innaalillaahi wa innaa ilaihi roojiuun. Sesungguhnya kami berasal dari Allah dan sungguh kami akan kembali kepada-Nya.
Ayat di atas memberi petunjuk bahwa, pertama, kita pada dasarnya tidak ada, dan karena itu pula kita tidak punya apa-apa. Dalam bahasa matematika, kondisi seperti ini dilambangkan oleh bilangan nol (0)—sebuah bilangan yang secara aritmatika menunjukkan ketiadaan.
Jadi, kita sesungguhnya tidak ada, sebab yang Wujud (Ada) hanyalah Dzat Allah. Adanya kita (lahir) karena diadakan oleh Yang Ada. Inilah makna innaalillaahi (sesungguhnya kami berasal dari Allah). Dan, mari kita ingat (?), apakah saat lahir kita membawa sesuatu? Tentu tidak, kita lahir telanjang. Tanpa sediktipun membawa bekal.
Kedua, karena asalnya tidak ada, maka pada akhirnya kita pun akan tiada (mati); wa inaa ilaihi roojiuun (dan sesungguhnya kepada-Nya kita akan kembali). Dan mari kita perhatikan kembali, apakah manusia mati membawa sesuatu, harta-benda? Tentu tidak. Seperti saat lahir, ketika mati pun manusia tidak membawa apa-apa, kecuali meninggalkan jejak hidupnya (amal shaleh: shadaqoh jariyah, ilmu yang manfaat, dan anak shaleh).
Jadi, manusia asalnya tiada dan akan kembali tiada (dari nol kembali nol, from zero to zero).
Pemaknaan Ketiadaan
Mari kita belajar dari filosofi ketiadaan. Pertama, karena kita berangkat dari ketiadaan dan akan kembali tiada, maka saat berada di dunia ini, kita mesti ingat bahwa itu hanya bersifat sementara; termasuk segala yang kita punyai (harta benda, kekuasaan, dan segala yang ada pada kita).
Karena semua itu hanyalah pinjaman, maka hal itu mengandung konsekuensi logis bahwa kita tidak dibenarkan menjadikannya sebagai ”dunia milik”; yang mengenggamnya erat-erat; seolah-olah itu hak murni kita tanpa memperhatikan hak Allah dan hak manusia lain dalam kepemilikan itu.
Saat perjuangan di jalan Allah membutuhkan tenaga dan biaya, kita tidak merasa terpanggil karena beranggapan bahwa diri dan harta adalah milikku. Saat ada yang kesusahan, kita tak bergerak untuk membantunya karena merasa bahwa harta benda kita adalah jerih keringat kita sendiri.
Atau sebaliknya, saat kehilangan ”dunia milik”, kita merasakan kiamat sedang menimpa. Saat sepeda kita hilang, kita sedih berkepanjangan, terpukul berat.
Kedua, ada sangat bermakna ketika dikomparasikan dengan tidak ada. Seorang yang kelaparan (tiada makanan) akan merasakan nikmat yang luar biasa saat makan (ada makanan).
Logika berbaliknya, ada (seharusnya) menjadi ajang bersyukur. Saat kita sehat (ada kesehatan), maka itu patut disyukuri karena banyak yang sakit (tiada kesehatan). Uniknya, kita seringkali baru merasakan nikmatnya sesuatu (ada), ketika suatu itu sedang tiada. Ketika rumah kita kebanjiran dan kita harus mengungsi di tenda pengungsian, maka kita baru merasakan betapa nikmatnya punya dan bisa tinggal di rumah.
Bagi yang beriman, apakah kita harus menunggu waktu yang sempit dulu untuk bisa menikmati betapa bermanfaatnya waktu luang yang telah diberikan Allah? Atau haruskah kita menunggu tua untuk beramal kebajikan, sementara waktu muda kita sia-siakan? Apakah kita menunggu sakit dulu untuk bisa bersyukur?
Menganti, 7 Pebruari 2007
Mohammad Nurfatoni
Dimuat pada Buletin Jumat Hanif, 2007