Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lembaga tinggi negara yang (seharusnya) terhormat itu, kembali tercoreng. Seorang anggotanya, Max Moein, dilaporkan melakukan pelecehan seksual kepada Desi Firdianti, seorang asisten pribadinya. Dugaan pelecehan seksual itu dilakukan setahun, yaitu selama Desi ‘mengabdi’ kepadanya sejak Maret 2005 sampai Maret 2006. ‘Hebatnya’ tindakan itu dilakukan di ruang kerja Max Moein di gedung DPR (SURYA, 29/5/08). Laporan ini seolah melengkapi berita heboh sebelumnya yakni beredarnya foto Max Moein yang sedang merangkul mesra seorang wanita dengan bertelanjang dada (SURYA, 23-24/08).
Dalam pernyataan kepada media massa beberapa waktu lalu, anggota DPR dari FPDIP yang juga Wakil Ketua Komisi XI itu tidak membantah kesahihan foto tersebut, tetapi dia menolak bahwa apa yang dilakukan dalam foto itu sebagai tindakan asusila. Dalam bantahannya, apa yang disebut sebagai “adegan syur” itu hanya dilakukan di kamar ganti kolam renang dan karena itu dia menganggap bahwa kejadian itu biasa saja dan menolak disamakan dengan kejadian yang dulu (maksudnya seperti apa yang dilakukan Yahya Zaini, salah seorang kolega DPR-nya, dengan penyanyi dangdut Maria Eva pada tahun 2006 lalu).
Meskipun fakta foto bertelanjang dada sambil merangkul gadis yang juga bertelanjang (hanya terlihat lengan-punggung) itu dibantah pelakunya sebagai tindakan asusila, tetap saja menimbulkan pertanyaan besar bagi masyarakat. Pertama, tidak wajar jika dalam kamar ganti kolam renang bercampur antara laki-laki dan perempuan, apalagi sampai terjadi pelukan mesra. Jadi, bisa saja Max Moein (pura-pura) lupa di mana sebenarnya adegan itu dilakukan!
Kedua, jika memang benar bahwa ‘adegan’ itu dilakukan di kamar ganti kolam renang, tetap saja tidak layak hal seperti itu dilakukan oleh dua orang yang bukan suami istri, apalagi yang melakukannya adalah seorang wakil rakyat yang seharusnya menjadi panutan masyarakat. Tanpa menuduh bertelanjang bulat pun, adegan seperti dalam foto itu tidak layak dilakukan di lingkungan masyarakat yang masih memegang nilai-nilai kesopanan.
Memang, adalah hak Max Moein memberikan bantahan tentang foto syur itu. Tetapi dugaan pelecehan seksual yang akhirnya dilaporkan oleh Desi, dan diumumkan secara luas pada publik, akan sedikit demi sedikit membuka misteri Max Moein. BK DPR tidak boleh lagi menutup kasus ini, seperti yang dilakukan sebelumnya. Penuntasan kasus ini penting untuk menjawab sejumlah pertanyaan masyarakat tentang moraliltas sebagian anggota DPR.
Secara bertubi-tubi kita disuguhi oleh sejumlah peristiwa yang menunjukkan runtuhnya moralitas mereka. Belum hilang dalam ingatan kita akan rekaman mesum (mantan) anggota DPR Yahya Zaini dengan Maria Eva, kita dikejutkan oleh penangkapan anggota dewan berinisial Al Amin Nasution. Disamping disangka melakukan tindakan korupsi, penangkapan Al Amin juga menyisakan cerita tentang kemesraan dengan wanita lain.
Godaan “Tiga TA”
Runtuhnya moralitas anggota dewan tidak saja terlihat dari cerita-cerita perselingkuhan atau kemesraan mereka dengan wanita lain, tetapi nampak terang benderang dari tuduhan korupsi yang kini sedang ditangani KPK. Di samping Al Amin, beberapa anggota dewan juga sedang disidik oleh KPK berkaitan dengan kasus aliran dana BI. Daftar nama itu akan menjadi panjang jika kita masukkan nama-nama anggota (juga ketua) DPRD berbagai daerah yang tersangkut tindak pidana korupsi.
Tidak jelas apakah masih banyak anggota dewan yang melakukan hal serupa tetapi belum atau tidak terungkap. Semoga saja tidak ada lagi! Sebab kita sebenarnya sadar bahwa banyak juga anggota dewan yang masih berpegang pada prinsip moral dan etika. Tetapi kenyataan seperti yang terungkap di permukaan itu cukup membuat kita prihatin. Keprihatinan itu bukan saja atas tindakan asusila yang mereka lakukan, tetapi juga karena telah terjadi penghianatan atas amanah perwakilan yang telah diberikan rakyat dalam pemilu legislatif.
Pemilu yang diharapkan menjadi mekanisme perwakilan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, ternyata banyak yang dibelokkan oleh anggota dewan terpilih untuk mengeruk kepentingan pribadi. Banyak dari anggota dewan yang lupa untuk apa sebenarnya mereka dipilih dan atas jasa siapa mereka bisa menikmati kursi empuk Senayan itu!
Rakyat yang rela berdarah-darah dalam setiap pemilu demi antusiasmenya memenangkan partai politik dan wakilnya menjadi anggota dewan, begitu mudah terlupakan. Tidak banyak aspirasi atau kepentingan rakyat yang berhasil diperjuangkan oleh para wakilnya. Dalam berbagai kasus menyangkut kepentingan rakyat selalu saja kandas diperjuangkan. Kasus lumpur Lapindo atau kenaikan harga BBM adalah contoh mutakhir.
Tetapi bukan saja rakyat yang dilupakan, banyak anggota dewan yang juga lupa pada dirinya sendiri. Mereka lupa menempatkan dirinya di tengah kedudukan terhormat yang sedang diembannya. Sementara sebuah falsafah mengatakan betapa kuatnya tiga godaan bagi mereka yang sedang mendaki jalan sukses politik, yaitu tahta, harta, dan wanita (“Tiga Ta”).
Rupanya yang terjadi adalah sebaliknya.” Tiga Ta” bukan dianggap sebagai godaan yang perlu disikapi secara hati-hati melainkan justru dijadikan sebuah cita-cita secara salah. Jika tahta, yaitu kedudukan terhormat sebagai pejabat negara DPR, sudah diraih maka terbukalah lebar-lebar kesempatan untuk menumpuk harta dan menggait wanita, meskipun dengan memanfaatkan jabatan dan kedudukannya secara tidak bermoral! Apa yang tidak bisa dilakukan oleh seorang anggota dewan yang punya kehormatan, kedudukan, uang, dan berbagai fasilitas itu? Bukankah dari beberapa kasus asusila anggota dewan tidak jauh dari harta (korupsi) dan wanita (perselingkuhan dan pelecehan).
Jangan Pilih Politisi Mesum
Tepat sehari sebelum foto syur Max Moein dilansir media cetak, di Tugu Proklamasi Jakarta sedang dideklarasikan Gerakan Nasional Anti-Politisi Busuk. Dalam deklarasi yang digagas sejumlah LSM itu, masyarakat diminta tidak memilih, mendukung, atau mendanai politisi busuk dalam pemilu 2009.
Yang dimaksud politisi busuk adalah mereka yang diketahui terlibat atau mendukung mereka yang melakukan praktik-praktik kotor, terlibat dalam pelanggaran HAM (juga dalam konteks ekonomi, sosial, budaya, termasuk yang setuju dengan kenaikan BBM), tindak pidana korupsi, perusak lingkungan hidup, dan sebagainya. Juga harus masuk dalam daftar politisi busuk itu adalah para anggota atau calon anggota dewan yang terlibat kasus-kasus mesum semacam Yahya Zaini atau Max Moein.
Kita tentu akan mendukung gerakan ini, karena akan menjadi warning bagi partai politik untuk lebih selektif dalam menyusun daftar calon legislatif (caleg) sekaligus menjadi shock therapy bagi para caleg yang tidak memiliki kredibilitas dan integritas agar tidak berani mencalonkan diri.
Hanya saja yang perlu diingat adalah meskipun pada saat menjadi caleg mereka tidak termasuk politisi busuk, tetapi bisa saja ketika sudah terpilih menjadi anggota dewan mereka mengalami proses pembusukan. Ini terkait dengan ketidakmampuan mereka memegang amanah ‘tahta’ yang diberikan rakyat, karena ‘tahta’ itu justru didayagunakan untuk mengeruk ‘harta’ secara ilegal dan menyelingkuhi ‘wanita’!
Jika pesimisme semacam ini tidak bisa dihilangkan dari benak rakyat, maka jangan salahkan jika mereka bukan saja tidak memilih politisi busuk, melainkan sama sekali tidak memilih alias golput! Jika hal itu benar terjadi, masihkah rakyat yang disalahkan? (*)
Mohammad Nurfatoni
Artikel ini telah dimuat Majalah Muslim edisi Juni 2008
Tapi wakil rakyat yang “baik” seharusnya berani membeberkan kejelekan dpr lain. Seperti kebaikan melindas keburukan sehingga dpr pun punya kewajiban mengkoreksi temannya. Kalau tak berani ya mereka sama buruknya
SukaSuka