Azka, Sujud Syukur Pertamaku

Azka dan Zada
Azka, si sulung, saat masih SMP, sedang menggendong Zada, adik bungsunya (foto dok keluarga, tahun 2009)

Dadaku berguncang. Lalu aku bersujud syukur di teras ruang persalinan RSAL dr Ramelan Surabaya, saat tangisan bayi menyeruak di pagi yang hening, sekitar pukul 10.00 WIB, 26 April 1994. Itulah untuk kali pertama aku bersujud syukur, atas karunia besar Allah ini.

Pasti itu tangis anak pertamaku. Perasaan yang semula cemas saat menunggu kelahiran terbayar dengan suka cita yang luar biasa. Aku tak bisa mengungkapkan bagaimana perasan bahagia yang menyelimuti hatiku.

Sesaat kemudian datang sang perawat, membawa bayi mungil yang sudah dimandikan. Aku cium dengan bahagia. Dan aku semakin bahagia ketika kudapati bayi dalam keadaan sehat sempurna.

Lalu aku diminta sang perawat adzan di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri. Aku ikuti saja, tak ada waktu untuk berdebat soal masih adanya perselisihan tentang hukum mengadzani atau mengiqomati sang bayi.

Tapi semangat bahwa kalimat thayyibah-lah yang harus pertama didengar sang bayi, sungguh penting untuk aku ikuti.

Masa-masa sulit yang dirasakan sang ibu, Siti Rondiyah, saat hamil dan melahirkan terbayar lunas saat itu. Perilaku, psikologis, dan fisik yang aneh mengiringi kehamilan anak pertamanya: kaki bengkak, tak mau tercium bau sabun, atau ngidam mangga adalah sedikit cerita tentang kehamilan itu.

Saat hamil anak pertama, sang ibu juga masih harus menyelesaikan dua semester kuliahnya di IKIP Surabaya. Aku selalu mengantarnya ke kampus Ketintang, meski hanya berbekal sepeda onthel, pinjaman seorang teman.

Masa-masa sulit (secara ekonomi) di awal-awal pernikahan, tidak boleh menyurutkan tekad kami menjadi (calon) orang tua yang tangguh bagi (calon) anak-anaknya.

Honor guru honorer yang sangat minim; kontrak rumah yang sempit, yang serba terbatas atau seringnya kami makan “ikan” terasi, yaitu campuran terasi dengan parutan kelapa dengan bumbu secukupnya; adalah sedikit gambaran tentang tantangan hidup yang kami alami.

Sepekan setelah menikah, kami berdua memang memutuskan harus hidup mandiri. Kami tidak ingin membebani orang tua, meski kami waktu itu masih memulai “hidup”.

Sembari mencari tempat tinggal sendiri di Surabaya, kami sempat “ditampung” oleh sahabat senior untuk “bulan madu” di rumahnya. Akhirnya, kami dapat kontrak rumah Rp 225.000 setahun, yang uangya aku pinjam dari koperasi sekolah.

Sebenarnya belum pantas disebut rumah, hanya bilik-bilik kecil. Listrik dan air PAM masih ikut rumah induk yang empunya, WC harus sewa di tetangga sebelah. “Perabot”-nya juga sangat sederhana, karpet bekas untuk tidur dan meja dan kursi plastik disumbang saudaraku.

Maka, setelah aku diperbolehkan masuk ruangan persalinan, aku cium ibu sang bayi. Kusampaikan terima kasih dan penghargaan atas perjuangan berat mengemban amanah untuk meneruskan generasi manusia, umat Nabi Muhammad SAW.

Setelah kami pastikan semua selamat dan sehat, aku putuskan untuk pulang ke rumah orang tua kami berdua di Tuban dan Lamongan.

Waktu itu kami belum punya telepon, apalagi HP, karena penggunanya juga masih sangat terbatas. Aku agak kaget, ketika kusampaikan bahwa anak pertamaku lelaki.

Sebab kerabat ada yang bilang, “Kowe pinter Nak, anak pertama lanang.” Aku gak paham maksudnya dan merasa lucu saja. Sebab bayi lelaki atau perempuan itu bukan aku yang merekayasa, melainkan kehendak Allah SWT semata.

Tiga hari ibu dan bayinya di rawat di RSAL. Kami memilih tempat ini karena dalam pertimbangan Bude kami yang menjadi bidan di situ, cocok untuk ibu pemula, karena akan diajari cara merawat bayi secukupnya.

Waktu itu, tahun 1994, kami harus bayar tarif sebesar Rp 90.000-an. Sepekan setelah itu kami melalukan ritual sunah aqiqah. Sebenarnya bukan kami yang melakukan, tetapi mertua karena dua kambing, beras, dan bumbu-bumbu dibawakan dari Tuban.

Mungkin beliau menjejaki Nabi Muhammad SAW yang mengaqiqahi cucunya (tapi aslinya kami belum punya biaya untuk akikah sendiri, he he he).

Aku pilihkan nama AZKA IZZUDDIN MOHAMMAD. Azka berarti lebih suci. Kami bermaksud bahwa anak kami akan lebih baik. Nama pertama ini sekaligus nama panggilan. Aku tak ingin nama panggilan anakku beda dengan nama aslinya.

Sementara Izzuddin, bermakna penegak atau pemulia agama. Kami ingin anak pertamaku ini menjadi pejuang bagi agamanya seperti Nabi Muhammad SAW dan nabi-nabi sebelumnya, serta para pejuang Islam yang telah meneladaninya.

Sedangkan Mohammad, kusandarkan pada Nabi Muhammad SAW dengan maksud agar anakku menjadi pengikut setianya dan sekaligus kusandarkan pada namaku, ayahnya. Maka semua anakku, baik lelaki maupun perempuan nama ketiganya adalah Mohammad.

Ananda Azka Izzuddin Mohammad, semoga harapan-harapan yang tersurat dalam namamu akan melecut dirimu untuk menjadi pribadi yang mulia dan unggul di tengah-tengah zaman yang selalu berubah ini. Semoga Allah SWT selalu memberimu bimbingan dan petunjuk, amien.

Mohammad Nurfatoni, ayah dari lima anak.

3 komentar

Tinggalkan komentar