Rosyad Hisbussalam Mohammad ketika beruisia satu tahun

Kali ini kami memilih Rumah Sakit Islam (RSI)  Wonokromo Surabaya untuk rencana kelahiran anak kedua. Pertimbangannya, rumah sakit ini dekat sekali dengan rumah kontrakan kami di Karangrejo.

Tidak seperti kelahiran anak pertama, kelahiran anak kedua terasa lebih berat. Harus menunggu dua hari di RS untuk karena mengalami kesulitan proses kelahiran

Sebagai keluarga yang baru 17 bulan memiliki anak pertama, tentu jarak kelahiran sedekat ini memerlukan ketahanan usaha yang ekstra. Keluarga jauh di desa, sedang pembantu atau baby sitter tidak ada. Jangankan pembantu, apalagi baby sitter, sebagai guru honorer, untuk bertahan hidup saja sudah bersyukur.

Di samping  harus mendampingi istri di RS, saya tetap harus momong anak pertama, Azka. Jika siang masih mungkin saya ajak dia ke RS, tapi jika malam terpaksa saya titipkan ke rumah teman, yang sekaligus tetangga kami: Mas Amin-Mbak Asih. 

Untuk menitipkan anak kecil berusia 17 bulan tidaklah mudah. Saya harus menemani sampai malam dan memastikan dia tidur, baru saya tinggal ke rumah sakit. Memang, seperti proses kelahiran anak pertama, pada kelahiran anak kedua ini pun  diniatkan untuk kami alami sendiri, orang tua di desa baru akan kami hubungi pascakelahiran.

Nyaris Caesar

Istri kami mengalami kesulitan kontraksi dan bukaan jadi lamban. Maka perlu obat pendorong atau perabgsang kontraksi.  Kata petugas kami harus menebus sampai tiga resep, jika sampai resep ketiga belum juga lahir, maka harus dilakukan operasi caesar.

Obat itu entah bagaimana bentuknya, saya tidak tahu karena satiap dibeli sudah dimasukkan termos pendingin. Obat ini dimasukkan lewat saluran kewanitaan. Waktu itu lumayan mahal bagi kantong kami, Rp 45 ribu per resep.

Tapi alhamdulillah, saya hanya beli dua kali resep obat itu. Jadi tidak diperlukan operasi caesar, yang waktu itu masih merupakan tindakan langka dan darurat sekali. Juga tak terbayangkan biaya operasinya, karena kami hanya siap biaya kelahiran normal.

Alhamdulillah, setelah proses melelahkan dan berat itu, lahirlah anak kedua kami, yang sekaligus putra kedua, tanggal 16 September 1995 siang hari. Seorang suster datang menghampiri saya yang menunggu di luar ruang, membawa seorang bayi yang sudah berpakain dan dililit kain gedong.

Saya sangat bersyukur. Bayi kedua ini sehat, tak ada cacat, dan ganteng. Pada wajahnya ada sedikit bercak hitam di dekat alis kiri. Orang Jawa menyebutnya “toh”. Dan toh ini ada sampai sekarang.

Sang suster meminta saya untuk mengucapkan adzan di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri. Tanpa banyak berdebat soal perselisihan landasan dalilnya, saya lakukan itu. Toh, yang penting kalimat-kalimat tayyibah-lah yang terdengar di awal kehidupan sang bayi.

Seperti pada kelahiran anak pertama, pada yang kedua ini pun saya tidak diperbolehkan masuk ruangan. Jadi saya tidak tahu bagaimana proses kelahiran bayi, yang dikenal sangat berat dengan taruhan nyawa. Saya tidak tahu apa pertimbangnnya, apakah kuatir saya ikut trauma?

Tapi bagi saya tak ada masalah. Dalam penantian di luar ruangan itu justru saya lebih khusuk berdoa dalam balutan harap-harap cemas yang mendalam.

“Semoga selamat! Semoga sehat. Ibu dan anakku,” begitu inti doa saya.

Nyaris Tertukar dan Pulang tanpa Sepengetahuan Saya

Tradisi di RSI, bayi-bayi yang lahir dirawat tersendiri di ruang bayi. Mereka ditaruh pada box sendiri-sendiri.  Nah, sore itu ada kejadian mengangetkan  yang menyertai bayi kami ini. Ternyata bayi kami sempat tertukar di box atas nama Siti Sholihah, padahal seharusnya di box Siti Rondiyah, ibu sang bayi. Untung saat itu metode pemberian gelang dengan nama ibunya sudah diberlakukan. Maka saya segera minta bayi saya dikembalikan pada box yang semestinya.

Tapi apa yang terjadi. Saat saya kembali ke RS bersama bapak-ibu mertua, istri dan bayi kami sudah tak ada, sudah pulang meninggalkan RS.

Setelah semua beres, saya pamit istri untuk pulang ke desa di daerah Tuban dan Lamongan untuk memberi kabar orang tua. Maklum waktu itu belum ada, lebih tepatnya belum punya, HP.

Sebelum pergi, saya pastikan dulu perkiraan kepulangan dari RS. Infonya, besok sore baru pulang. Maka saya masih punya cukup waktu untuk kembali lagi ke RS dari perjalanan pergi pulang desa.

Tapi apa yang terjadi. Saat saya kembali ke RS bersama bapak-ibu mertua, istri dan bayi kami sudah tak ada, sudah pulang meninggalkan RS. Padahal waktu itu masih pagi, sekitar pukul 10.00 WIB. Rupanya mereka harus pulang lebih cepat, mungkin pasien kelahiran pada antri sedang kondisi ibu dan bayinya sudah sehat.

Tentu, ini di luar jadwal yang telah diinfokan. Saya terkejut dan sedikit kecewa. Bagaimana ibu dan bayinya pulang sendiri tanpa saya dampingi?

Rupanya, dan untungnya, waktu itu ada Kak Yazid dan senior Mas Misbahul Huda-Mbak Lina, yang sedang menjenguk dan kemudian mengantarkan kepulangan istri dan bayi saya ke rumah. Lega rasanya. Saya lupa, apakah beliau-beliau yang memberesi adminsitrasi RS? Yang saya ingat biaya persalinan normal paket bidang di RSI waktu itu “cuma” Rp 100 ribu.

Anak kedua ini kami beri nama Rosyad Hizbussalam Mohammad. Nama panggilannya Rosyad, yang berarti lurus atau benar. Sedang nama kedua terangkai dari kata hizb, yang bermakna pasukan atau bala tentara yang disandingkan pada Allah dengan asmaul husna-nya as-Salam, yang bermakna Maha Pemberi Keselamatan/Kedamaian. Jadi saya memiliki cita-cita dan doa semoga anak kedua ini menjadi pejuang Allah yang tegas pada prinsip sekaligus membawa pesan-pesan kedamaian.

Biasanya hizb langsung disandarkan pada Allah sehingga terbentuk nama Hizbullah. Tapi penggunaan nama ini saya hindari untuk meminimalisai salah penyebutan. Sedangkan nama ketiga, Mohammad, yang berarti terpuji, adalah nama ayahnya, yang sekaligus merujuk pada Nabi Muhammad SAW.

Nama ini saya gali dari al-Quran. Waktu itu saya cari memakai buku “Konkordansi Al Quran” karangan Ali Audah. Buku itu semacam indek pencarian ayat atau kata dalam Al Quran. Buku itu punya istri, dia dapat dari maskawin pernikahan kami. Sudah lama dipijam(kan) teman dan belum kembali.

Buku itu sangat membantu kami mencari nama-nama indah dan baik, karena waktu itu penggunaan internat dengan Google-nya tidak seperti sekarang. Pemberian nama anak pertama juga memakai jasa buku itu. 

Peresmian nama ini, alhamdulillah bisa kami laksanakan dengan aqiqah pada hari ketujuh, meskipun, seperti anak pertama, kambing dan perlengkapan lainnya disuplai bapak mertua KH Abdul Mu’thi, yang kini telah almarhum.

Semoga ananda Rosyad, adalah salah satu amanah Allah yang bisa kami jaga dengan doa dan ikhtiar, sehingga menjadi harapan pembawa kebaikan bagi kehidupan dunia dan akherat. Amien.

Terima kasih kepada semua yang telah memberi kontribusi bagi perjalanan kehidupan dan sekolahnya. Keluarga, sahabat, para guru dan teman-temannya. Insyallah semua menjadi amal kebajikan.

Berbek, 16 September 2013, ditulis menggunakan fasilitas MemoPad BlackBerry 9780

Mohammad Nurfatoni

~ Tulisan ini dibuat bersamaan dengan tes wawancara Rosyad di Jakarta, untuk cita-citanya menuntut ilmu di Kyoto University, Jepang. Sebenarnya dia sudah kuliah semester 1 di FTSL ITB, tapi berusaha mendapat sekolah yang lebih baik lagi. Semoga Allah memberi jalan kemudahan. Amien.

Akhirnya Rosyad kuliah di Kyoto University, Jepang, selama 6 tahun sejak April 2014. Namun dilanjutkan di Universitas Pertamina Jakarta, lulus tahun 2020. Insyaallah pada tanggal 17 Maret 2022, dia akan come back to Japan, untuk bekerja di sebuah perusahaan semen. Selamat!

Foto keluarga tahun 2021 di Kawah Ijen, Banyuwangi. Dari kiri: Faza Fajrulfatkhi Mohammad (anak keempat), Siti Rondiyah (istri), Zada Kanza Makhfiyah Mohammad (anak kelima, penulis, Rosyad Hisbussalam Mohammad (anak kedua) dan Aqil Rausanfikr Mohammad (anak ketiga). Anak pertama Azka Izzuddin Mohammad tidak ikut karena sudah menikah dengan Ratih Retnowati dan tinggal di Jakarta.

2 komentar

Tinggalkan komentar