Hasil mengejutkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat, yang menempatkan pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf, alias Hade, sebagai pemenang, sangat menarik untuk dikaji terutama oleh para calon gubernur dan wakil gubernur yang akan bertarung pada pemilihan kepala daerah Jatim 2008.
Ada tiga fakta menarik untuk dikaji atas keunggulan pasangan Hade tersebut. Pertama, pasangan ini hanya diusung oleh partai kecil, PKS dan PAN yang total kursi legislatifnya hanya 21 kursi. Bandingkan dengan 37 kursi Partai Golkar dan Partai Demokrat sebagai pengusung pasangan Danny Setiawan-Iwan Sulandjana (Dai) atau koalisi PDIP dan PPP plus 5 partai lainnya sebagai pengusung pasangan Agum Gumelar-Nu’man Abdul Hakim (Aman) yang bermodalkan 42 kursi.
Apa yang menarik dari fakta pertama ini? Ternyata, kemenangan pilkada tidak selalu berbanding lurus dengan kemenangan pemilu legislatif. Padahal seringkali kita melihat banyak bakal calon yang hendak maju dalam pilkada selalu berebut untuk diusung oleh partai yang perolehan suara pemilu legislatifnya besar atau sebaliknya partai besar selalu menjadikan hasil pemilihan legislatifnya sebagai komoditas politik yang layak jual dengan bergaining position yang tinggi. Kasus perebutan kendaraan PKB sebagai partai mayoritas di Jatim oleh beberapa kandidat yang kemudian dimenangkan oleh Achmady atau perebutan calon dari PDIP yang akhirnya dimenangkan oleh Sutjipto setelah mengalahkan Soekarwo adalah bukti kuatnya citra partai besar dalam pememangan pilkada.
Dalam konteks lain kita pun melihat terjadi perebutan bakal calon yang memiliki hubungan kultural (juga struktral) dengan basis massa terbesar di Jatim, yaitu NU. Maka tidak heran jika hampir semua bakal calon memiliki pasangan yang berasal dari kalangan nahdliyin. Soenarjo akhirnya mendapatkan Ali Maschan Moesa, yang sebelum dinonaktifkan adalah Ketua Tanfidiyah PWNU Jatim. Soekarwo mendapatkan Saefullah Yusuf, Ketua Umum GP Anshar, Sutjipto berpasangan Ridwan Hisyam, kader partai Golkar yang gencar mengidentifikasikan dirinya sebagai santri NU. Achmady sendiri, meskipun tidak termasuk orang penting NU Jatim, tapi restu Gus Dur adalah jaminan tersendiri di kalangan NU. Belum lagi kemungkinan pencalonan Khofifah Indar Parawangsa yang kini menjabat Ketua Umum Muslimat NU.
Benarkah dengan hanya berbekal partai besar dan basis massa kuat, sepasang calon secara otomatis akan memenangkan pertarungan pilkada? Dalam konteks lokal di Jatim, pilkada Lamongan dan Bojonegoro adalah contoh anti-thesis itu. Bupati terpilih dari dua kabupaten itu adalah kader PAN (atau secara kultural kader Muhammadiyah), sebagai partai politik minoritas di Jatim (Muhammadiyah pun ormas minoritas di Jatim, juga di kedua kabupaten itu).
Dengan fakta ini, maka peluang semua bakal calon dalam perebutan kursi gubernur dan wakil gubernur Jatim masih sangat terbuka, termasuk bakal calon Djoko Subroto yang akan diusung oleh aliansi partai non-parlemen seperti PBB dan PKS dan Khofifah Indar Parawansa, yang akan dicalonkan oleh PPP bersama partai non-parlemen lainnya. Juga, seandainya masih ada kesempatan majunya calon independen, maka kesempatan memenangkan pertarungan itu pun juga terbuka lebar bagi mereka.
Kedua, kemenangan Hade yang diusung oleh partai santri PKS dan PAN, menurut Indra J. Piliang, diantaranya disebakan oleh terpecahnya kelompok nasionalis pada pasangan Dai dan Aman yang sama-sama memiliki basis nasionalis. Berkaca pada hal itu, apakah banyaknya bakal calon gubernur dan wakil gubernur Jatim dari kalangan NU juga akan menyebabkan pecahnya suara NU dan memungkinkan calon dengan basis non-NU menang?
Yang jelas, kini para calon dari kalangan NU berebut dukungan ke kantong-kantong basis NU. Pasti akan berimbas pada terpecahnya suara NU itu. Lantas, apakah akan membuat calon yang lebih netral warna NU-nya, seperti pasangan Sutjipto-Ridwan Hisyam, akan meraup suara lebih banyak? Bisa saja itu terjadi, apalagi suara dari kalangan non-NU ada yang memilih pasangan yang lebih netral, sebagaimana diungkapkan Ketua DPW Partai Matahari Bangsa Jatim.
Figur Baru dan Harapan Perubahan
Fakta ketiga yang bisa kita baca dari kemenangan pasangan Hade adalah citra sebagai figur muda alternatif dan menguatnya keinginan terjadinya perubahan. Hasil exit poll (survei pascapencoblosan) yang dilakukan Litbang Kompas menunjukkan bahwa sekitar 37,3 persen responden survei dari kalangan tidak bekerja menyatakan dukungan mereka pada Hade, hanya 22,7 persen pada Aman dan 9,3 persen pada Dai (Kompas, 15/4/08). Hal ini menunjukkan bahwa salah satu faktor dijatuhkannya pilihan pada Hade adalah adanya keinginan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang dalam kepemimpinan sebelumnya belum tertangani.
Dukungan kepada Hade sebagai figur baru juga muncul dari kalangan pekerja swasta, dan kalangan muda dari pelajar/mahasiswa, yang lebih banyak diidentikkan sebagai kelompok anti-kemapanan (bandingkan dengan dukungan pada figur lama yang berasal dari kalangan pensiunan, pengusaha, dan petani/nelayan, yang sering diidentikakn sebagai kelompok anti-perubahan).
Jika kecenderungan pilihan adalah pada figur baru yang membawa perubahan, maka dalam konteks pilkada Jatim 2008 apakah ditemukan hal yang sama? Soernarjo dan Soekarwo adalah orang lama, keduanya adalah birokrat tulen dengan posisi penting di Jatim, masing-masing sebagai wakil gubernur dan sekretaris propinsi. Tentu kedua tokoh ini sangat mudah diidentikkan dengan orang lama dan anti-perubaahan. Maka pilihan bakal calon wakil gubernur menjadi penting untuk menutup celah itu. Dari pasangan yang dipilih masing-masing, Ali Machsan Moesa atau Saefullah Yusuf, apakah bisa menjadi citra figur baru dan membawa perubahan?
Sementara Achmady, adalah bupati Mojokerto. Jadi dalam konteks ini, juga tidak banyak berbeda dengan Soenarjo atau Soekarwo. Rasanya, harapan ada pada pemilihan bakal calon wakilnya. Apakah benar-benar sebagai figur alternatif?
Maka yang bisa dikategorikan di luar orang lama adalah pasangan Sutjipto-Ridwan Hisyam atau Khofifah. Keduanya belum pernah memegang jabatan birokrasi di Jatim.
Dalam konteks figur baru dan pembawa perubahan ini lebih khusus kita patut memberi cacatan pada Khofifah. Meski pernah menjadi menteri, namun citra dirinya jauh dari seorang birokrat. Apalagi dia seorang perempuan. Tipikalnya hampir sama dengan seorang artis semacam Dede Yusuf, murah senyum dan populer di kalangan ibu-ibu. Dan menariknya, dari hasil dari survei Pusat Studi Demokrasi dan HAM (Pusdeham), 45 persen dari total 54 persen pemilih perempuan yang tercatat dalam pilkada Jabar memilih pasangan Hade. Dan salah satu faktor pentingnya adalah sosok Dede Yusuf (SURYA, 15/4/08). Mungkinkah Khofifah akan sesukses Dede Yusuf dalam menggait suara perempuan?
Salah satu yang menjadi ganjalan adalah masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam tentang kepemimpinan wanita. Apakah ini akan menjadi isu yang memberatkan Khofifah? Entahlah? PPP sendiri sebagai calon pengusungnya, dulu adalah termasuk yang mempersoalkan kemungkinan Megawati Soekarno Putri sebagai presiden RI dengan alasan yang sama. Tapi kini ia sangat getol memperjuangkan Khofifah. Mengapa muncul inkonsistensi PPP? Tidak lain dan tidak bukan karena PPP adalah sebuah partai yang kepentingan utamanya sama dengan partai politik lain, kekuasaan.
Tapi, yang tak kalah menariknya dari pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jabar adalah tingginya angka golput. Tercatat lebih dari 33 persen pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Apakah hal yang sama akan terjadi di Jatim? Tentu semua tergantung dari bagaimana rekam jejak partai politik pengusung dan para calon itu yang ada dalam bawah sadar rakyat Jatim. Benarkah mereka akan memperjuangkan kepentingan rakyat, atau hanya butuh rakyat sesaat demi meraup kekuasaan? (*)
Mohammad Nurfatoni
Pengamat politik dan sosial Forum Studi Islam (FOSI) Surabaya
Artikel ini telah dimuat harian Surabaya Post, 25 April 2008
klik
http://www.surabayapost.info/kolom.php?id=75051&klom=Opini&kolomid=5
khafifah oke, sebagai alternatif. itu kalau tidak ada calon lain yang lebih menjanjikan selain calon yang telah ada sekarang.
SukaSuka
dunia politik selalu dinamis….apapun bisa terjadi..
SukaSuka