Berharap Pilgub Jatim Cukup Satu Putaran

Hari ini, Rabu 23 Juli 2008, rakyat Jawa Timur akan menorehkan sejarah baru. Untuk kali pertama mereka akan memilih pemimpinnya secara langsung dalam perhelatan demokrasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur 2008. Sebanyak 29.061.718 pemilih diharapkan akan mendatangi 62.756 TPS yang tersebar di seluruh pelosok Jatim. Mereka akan memilih satu dari lima pasang calon untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur Jatim.
Sesuai UU No. 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 107 huruf 1 dan 2, untuk memenangkan sebuah pemilihan kepala daerah, pasangan calon harus memperoleh 30 persen lebih suara sah. Jika tidak maka harus dilakukan pilkada putaran kedua yang diikuti dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak. UU No. 12 tahun 2008 ini merupakan revisi dari UU No. 32 tahun 2004, yang menetapkan calon pemenang minimal mengantongi suara 25 persen.
Kasus pilkada yang berlangsung dua putaran terjadi pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur Kalimantan Timur. Hasil rekapitulasi penghitungan suara pada pilgub yang berlangsung 26 Mei 2008, pasangan Awang Faroek Ishak – Farid Wadjdy memperoleh suara terbanyak, yaitu 28,90 persen, disusul pasangan Achmad Amins – Hadi Mulyadi 26,90 persen. Sementara, pasangan Jusuf SK – Luther Kombong memperoleh suara 25,16 persen serta pasangan Nursyirwan Ismail – Heru Bambang memperoleh suara 19,04 persen. KPU Provinsi Kaltim pun akhirnya menetapkan pilgub provinsi tersebut berlangsung dua putaran.

Tentu, kita berharap bahwa pilgub Jatim kali ini tidak berlangsung dua putaran. Ada dua alasan penting yang perlu dikemukakan. Pertama, berlangsungnya pemilihan dalam dua putaran akan meningkatkan kejenuhan masyarakat dalam memberikan hak suaranya.

Pengalaman Pilpres 2004 menunjukan bahwa tingkat partisipasi pemilih di Jatim mengalami penurunan sebesar 1,4 persen pada putaran kedua dibandingkan dengan putaran pertama. Pada putaran pertama tingkat partsisipasi mencapai 78,34 persen sementara pada putaran kedua turun menjadi 76,98 persen.

Terjadinya penurunan tingkat partisipasi pemilih pada putaran kedua tentu akan menimbulkan bayang-bayang kekuatiran peningkatan angka golput. Sementara banyak pihak yang kuatir akan kecenderungan tingginya angka golput pada berbagai pilkada sebelumnya, sekalipun hanya berlangsung satu putaran. Karena golput seringkali masih dianggap tabu dan mengurangi legitimasi kemenangan.

Kedua, berlangsungnya dua putaran pemilihan tentu akan menimbulkan pemborosan anggaran negara. Pada putaran pertama saja KPU Provinsi Jatim telah menggunakan dana lebih dari Rp. 550 miliar. Angka itu belum termasuk biaya yang harus dikeluarkan oleh kelima pasang calon untuk kegiatan kampanye dan operasional kegiatan lainnya, yang diperkirakan menyedot dana yang jauh lebih besar, sampai trilyunan rupiah. Maka, bisa dibayangkan, berapa tambahan anggaran yang harus dikeluarkan untuk berlangsungnya pemilihan putaran kedua!

Jika sampai terjadi, maka hal itu akan menjadi sebuah ironi bagi masyarakat Jatim. Di tengah-tengah himpitan beban ekonomi, masyarakat harus melihat miliaran rupiah “dibuang” sia-sia, demi sebuah demokrasi yang, meminjam Bachtiar Effendy, sangat prosedural. Sementara kita dituntut untuk membangun demokrasi substansial, yaitu demokrasi yang memberi efek pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Peluang Dua Putaran

Boleh saja kita berharap bahwa pilgub Jatim kali ini berlangsung satu putaran. Namun melihat peta kelima pasang calon dan preferensi pemilihnya, muncul sebuah keraguan, benarkan pemilihan kali ini hanya berlangsung satu putaran?

Pertama, setidaknya ada empat calon yang memiliki hubungan sangat erat dengan NU, yaitu tiga orang karena secara personal (pernah) memegang jabatan struktural di NU. Mereka adalah Khofifah Indar Parawangsa (mantan Ketua Muslimat NU), Ali Machsan Moesa (mantan Ketua Tanfidziyah PWNU Jatim), dan Saefullah Yusuf (Ketua Umum GP Anshar). Sementara satu calon lagi, yaitu Achmady, diusung oleh PKB, sebuah partai politik yang dilahirkan dari “rahim” NU.

Kenyataan ini, mau tidak mau, akan membuat tersebarnya suara pemilih yang berbasis massa NU, sebagai mayoritas pemilih di Jatim. Setidaknya itu bisa kita lihat dari adanya polarisasi dukungan dari para kyai atau pesantren berpengaruh pada keempat calon gubernur atau wakil gubernur tersebut.

Tanpa mengesampingkan adanya keharusan bersikap netral dari jajaran struktur NU, kita pun akan melihat bahwa warga nahdliyin yang memiliki ikatan emosional dengan calon tertentu bisa dipastikan akan memberikan dukungannya. Khofifah, tentu akan lebih banyak didukung kaum perempuan NU yaitu dari Muslimat dan Fatayat. Ali Machsan akan mendapat dukungan yang lebih dari kalangan yang pernah memiliki hubungan struktural denganya, baik di PWNU, PCNU, maupun pengurus ranting. Saefullah akan di-back up oleh kaum muda NU dengan pilar utama GP Anshar. Sementara Achmady akan didukung oleh Gus Dur dan pengikut setianya.

Pertanyaannya, dengan asumsi bahwa telah terjadi polarisasi dukungan warga NU pada keempat calon di atas, apakah akan menjadi jalan lempang bagi pasangaan yang tidak memiliki hubungan emosional dengan NU, yaitu Sutjipto dan Ridwan Hisyam, untuk memenangi pemilihan, dan sekaligus membuat pilgub cukup satu putaran?

Pertanyaan itu bisa dijawab oleh kenyataan kedua, bahwa kalangan non NU dari kalangan nasionalis pun tidak luput dari kemungkinan polarisasi dukungan. Sutjipto, kemungkinan untuk tidak mendapat dukungan penuh dari pengurus dan warga PDIP tetap terbuka lebar. Pasalnya, Soekarwo adalah pesaingnya yang memenangi pemilihan awal di internal PDIP, meskipun akhirnya dikandaskan oleh keputusan DPP PDIP. Bisa saja para pendukung Soekarwo masih ada di PDIP dan secara diam-diam akan memberikan dukungan kepadanya.

Sementara itu, dukungan warga Partai Golkar pada calon gubernur Soenarjo dijamin juga tidak akan utuh. Sebab, Ridwan Hisyam sebagai aktivis Partai Golkar dari “faksi” Akbar Tandjung justru berpasangan dengan Sutjipto. Jadi suara pemilih Partai Golkar pun akan terpolarsisasi. Setali tiga uang adalah kemungkinan terjadinya polarisasi dukungan keluarga besar TNI, yang diperkirakan sebesar 2,9 juta orang, karena ada dua mantan Kadam V/Brawijaya yang ikut mencalonkan diri menjadi wakil gubenur, yaitu Mudjiono dan Soehartono.

Muhammadiyah Solusi Penentu?

Dengan gambaran-gambaran seperti itu, maka akan sangat sulit bagi salah satu pasangan untuk memperoleh suara di atas 30 persen. Ini pula yang diperlihatkan oleh beberapa polling terakhir. Hasil polling Achmady Institute yang dipublikasikan pada 21 Juli, misalnya, menempatkan Soenarjo-Ali Machsan Moesa sebagai pasangan yang terpopuler dengan 17,4 persen, disusul Soekarwo-Saefullah yusuf dengan 13,6 persen dan Achmady-Soehartono dengan 11 persen.

Dengan menilik peta seperti di uraikan di atas, maka harapan pilgub Jatim berlangsung satu putaran hanya ada pada kelompok masyarakat yang tidak memiliki ikatan emosional secara langsung dengan kelima pasang calon gubernur dan wakil gubernur. Misalnya kalangan profesional, intelektual, atau buruh. Namun karena besar kemungkinan mereka memilih golput, maka harapan tinggal pada warga Muhammadiyah.


Ya, mengapa Muhammadiyah? Seperti kita ketahui, dari lima pasang calon yang ada, tidak ada satu pun tokoh yang terindikasi memiliki hubungan emosional, apalagi struktural, dengan Muhammadiyah. Sementara itu Muhammadiyah sendiri memutuskan untuk tetap berpartisipasi secara cerdas dalam pilgub dengan memilih bersikap netral.

Dengan perkiraan anggota sebesar 5 juta orang, maka bulatnya suara warga Muhammmadiyah akan menjadi faktor penting untuk kemenangan salah satu pasang calon dan sekaligus membuat pilgub hanya berlangsung satu putaran. Semoga! (*)
Mohammad Nurfatoni
Artikel ini, dengan beberpa editing, telah dimuat Jawa Pos rubruk Ruang Publik Metropolis, Rabu, 23 Juli 2008. Selengkapnya bisa diklik di:

2 komentar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s