Pesta demokrasi rakyat Jawa Timur baru saja usai. Rasa syukur patut dipanjatkan karena pemilihan gubernur dan wakil gubernur ini berlangsung dengan lancar, aman, dan damai. Melalui beberapa quick count (perhitungan cepat) kita segera mengetahui bahwa tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara 30 persen.

Prediksi Kompas-SCTV misalnya, menunjukkan bahwa pasangan Soekarwo-Saefullah Yusuf (Karsa) memperoleh suara 25,50 persen, disusul Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji) 25,32 persen, Sutjipto-Ridwan Hisjam (SR) 22,20 persen, Soenarjo-Ali Maschan Moesa (Salam) 19,41 persen, dan Achmady-Suhartono (Achsan) 7, 57 persen.

Dari pengalaman yang ada, hasil quick count atau prediksi yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei tidak jauh berbeda dengan hasil akhir perhitungan manual yang dilakukan oleh KPUD. Sebab, rata-rata margin error-nya di bawah 2 persen. Itu artinya, bahwa hasil quick count pilgub Jatim pun bisa dipercaya keakuratannya.

Karena tidak ada suara yang mencapai angka 30 persen, maka sesuai dengan UU No 12. tahun 2008, akan dilangsungkan pemilihan putaran kedua, dengan menyandingkan dua pasangan yang memperoleh suara tertinggi, yaitu Karsa (25,50 persen) dan Kaji (25,32 persen).

Siap Kalah Siap Menang
Karena hanya dua pasangan calon pasang yang berhak memasuki putaran kedua, maka secara otomatis tiga pasangan lainnya adalah pihak yang kalah. Sesuai dengan ikrar bersama yang dilakukan sebelum pelaksanaan pemilihan, maka kemenangan dan kekalahan itu hendaknya bisa diterima dengan lapang dada.

Sudah saatnya para pemimpin memberi teladan dalam menghadapi kompetisi dengan segala risikonya, termasuk risiko kekalahan yang mungkin saja menyakitkan. Tetapi toh sudah disadari sejak awal, bahwa tidak semua pasangan calon akan menjadi pemenang.

Jika masih tersisa sejumlah tindakan yang diduga sebagai pelanggaran, maka sebaiknya ditempuh jalur hukum.

Kita tidak ingin rakyat diseret-seret untuk melakukan konflik horisontal, demi mendukung ambisi pasangan calon yang ngotot memperoleh kekuasaan secara tidak fair.

Konflik berlarut-larut yang menyertai pemilihan kepala daerah Malukut Utara, yang melibatkan rakyat untuk melakukan tindakan kekerasan, adalah pengalaman pahit yang seharusnya tidak boleh terjadi lagi. Mereka yang sudah menderita akibat situasi ekonomi yang membelit, jangan lagi diperparah oleh konflik kepentingan kekuasaan. Kasihan rakyat!

Jabatan gubernur dan wakil gubernur memang strategis. Tapi jabatan tersebut bukan satu-satunya jalan dalam kesertaan membangun kesejahteraan rakyat Jatim. Tanpa jabatan itu, masih banyak cara untuk bisa merealisasikan janji-janji saat kampanye. Tentu saja, jika semua janji itu disampaikan dengan tulus, dan bukan sekedar rayuan gombal.

Bukankah banyak tokoh yang berhasil berkiprah membangun Jatim tanpa jabatan formal kepemimpinan? Apalagi jika kita lihat bahwa semua tokoh yang menjadi calon gubernur dan wakil gubernur Jatim adalah para tokoh masyarakat atau mantan pejabat.

Mereka telah lama berkiprah dalam membangun Jatim, bahkan Indonesia secara umum, karena beberapa di antara mereka adalah mantan menteri dan anggota DPR. Jadi, sekalipun kekalahan yang didapat dari pemilihan kali ini, tidak ada alasan bagi mereka untuk secara membabi buta mempersoalkan kemenangan pasangan lain.

Sekalipun ada sebagian pendukung yang belum bisa menerima kekalahan itu, maka jiwa besar para pemimpin tersebut sangat dibutuhkan untuk meredam kekecewaan pendukung.

Risiko Dua Putaran
Kepentingan rakyat adalah capaian yang hendak dituju dari sistem demokrasi yang sedang dikembangkan bangsa Indonesia.

Tanpa mempertimbangkan kepentingan rakyat, demokrasi adalah omong kosong karena hanya berputar pada prosedur-prosedur formal. Inilah yang disebut sebagai demokrasi prosedural; demokrasi yang sekedar mengikuti aturan formal-administratif, tanpa memiliki efek positif pada rakyat.

Lebih dari sekedar prosedur, demokrasi mestinya memberi efek langsung pada rakyat, khususnya pada perbaikan kehidupannya. Demokrasi yang bertumpu pada kepentingan kemakmuran rakyat. Inilah yang disebut demokrasi substansial (Bachtiar Effendi, 2008).

Akan tetapi dalam sepuluh tahun reformasi, demokrasi yang sedang berjalan jauh dari substansinya. Maka oleh keharusan prosedur-administratif itu pulalah dua putaran pilgub Jatim akan berlangsung. Sementara secara substansial, banyak rakyat yang dikorbankan oleh prosedur itu. Tetapi itulah risiko dari demokrasi prosedural yang sedang dipilih para pelaku politik.

Nah, dengan pemilihan dua putaran, setidaknya ada tiga risiko yang akan diterima oleh rakyat. Pertama, akan terjadi pemborosan anggaran negara. Pada putaran pertama saja, lebih dari Rp 550 miliar telah dihabiskan KPU Provinsi Jatim. Angka sebesar itu belum termasuk dana triliunan rupiah yang dikeluarkan para calon untuk sosialisasi, kampanye, dan operasional masing-masing pasangan calon.

Dengan dua putaran, bisa dipastikan jika semakin banyak uang yang dikeluarkan; sementara rakyat masih hidup dalam kesulitan ekonomi. Alangkah bermanfaatnya jika dana yang “dihambur-hamburkan” untuk sekedar membangun citra dalam merebut hati pemilih itu dialokasikan untuk hal-hal yang langsung berkaitan dengan kepentingan rakyat!

Kedua, energi rakyat tentu akan semakin terkuras. Jarak waktu “perseteruan” antarcalon dan pendukungnya menjadi semakin panjang.

Perusahaan dan buruh akan dirugikan dengan menambah hari atau jam libur, yang secara otomatis mengurangi pendapatan mereka. Energi ini semakin terkuras jika ada perselisihan hukum, seperti yang terjadi pada pilkada Kalimantan Timur.

Ketiga, kejenuhan rakyat terhadap banyaknya “keharusan” untuk memilih pada berbagai pemilihan akan semakin besar. Pada putaran pertama saja diperkirakan lebih dari 38 persen pemilih golput. Angka ini akan semakin besar jika masuk pada putaran kedua.

Sebagai perbandingan, pada putaran kedua pilpres 2004 tingkat partisipasi pemilih di Jatim mengalami penurunan sebesar 1,4 persen dibandingkan dengan putaran pertama. Pada putaran pertama tingkat partsisipasi mencapai 78,34 persen sementara pada putaran kedua turun menjadi 76,98 persen.

Tetapi kita tetap yakin bahwa rakyat Jatim adalah warga yang baik. Meskipun demokrasi prosedural mengharuskan mereka memilih pemimpinnya berkali-kali, mayoritas mereka tidak akan keberatan. Asal, para pemimpin yang terpilih benar-benar tulus melaksanakan janji-janji yang pernah diterbarkannya. Sebab, jika tidak, rakyat akan “menghukum” mereka pada pemilu, pilpres, atau pilkada selanjutnya! (*)

Mohammad Nurfatoni
Aktivis FOSI (Forum Studi Islam) Surabaya

Artikel ini, dengan judul “Pilgub Putaran Kedua”, telah dimuat harian Surya, 25 Juli 2008.

Selengkapnya bisa di-klik di:

http://www.surya.co.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=51109&Itemid=40

2 komentar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s