Tauhid Pengurbanan

Hari Raya Kurban akan kembali menghampiri kita. Setiap tahun (barangkali) kita menunaikan ibadah kurban, menyembelih seekor domba, sapi, atau unta. Daging­-dagingnya kita sebarkan untuk bisa dirasakan oleh fakir miskin. Aktivitas seperti ini rutin terjadi dalam siklus hidup kita. Bahkan, mungkin, telah menjadi rutinitas! Seperti mesin, rutinitas adalah proses yang berulang-ulang.

Memang banyak ibadah mengharuskan dilakukan secara rutin. Shalat misalnya, sehari kita lakukan lima kali. Puasa Ramadhan kita lakukan satu bulan dalam setiap tahun. Persoalannya adalah, apakah ibadah-ibadah seperti itu bisa dilakukan sekedar sebagai rutinitas; sesuatu yang mekanis? 

Pertanyaan seperti ini penting kita kemukakan saat-­saat kita sedang diliputi suasana kurban. Sebab jika kita tengok sejarahnya, ternyata kurban membawa muatan makna yang cukup dalam, jauh dari sekedar sebuah simbol penyembelihan dan pemba­gian daging kurban. 

Adalah nabiyullah Ibrahim dan Ismail yang telah mendemontrasikan betapa ibadah kurban adalah pertaruhan antara tauhid dan syirik. Pertarungan antara Allah dan selain Allah. Dan mereka lulus dalam ujian “pertaruhan” ini. Bahwa Ibrahim dan Ismail lebih mementingkan Allah telah dibuktikan dengan kesanggu­pan mereka untuk menyem­belih dan disembelih, karena memang itu perintah Allah. Kecintaan Ibrahim kepada anaknya tetap diletakkan di bawah kecintaannya kepada Allah. 

Ibrahim memang cinta, dan bahkan sangat cinta, kepada putranya, Ismail. Akan tetapi perintah Allah lebih dari segala kecintaan duniawi. Inilah implementasi tauhid yang benar. Bahwa tauhid bukan sekedar “basa­-basi” percaya akan keesaan Allah. Tauhid bukan sekedar penolakan secara lisan terhadap tuhan-tuhan dan penunggalan Allah. Tauhid adalah jiwa kehidupan. Tauhid menuntut pendemonstrasian sikap secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. 

Sebagai “bapak monotheisme”, Ibrahim sangat paham terhadap sikap-sikap tauhid yang harus dilakukan. Dia sangat paham bahwa ” … jika bapak-bapak, anak­-anak, saudara-saudara, istri-istri kamu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu kuatir kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya…” (At-Taubah/9:24). 

Bercermin dari sejarah kurban Ibrahim, maka ibadah kurban yang kita lakukan mestinya kita jadikan ajang pengasahan sikap tauhid.

Pegorbanan Tauhid

Seperti ibadah-ibadah lainnya, ibadah kurban juga mengandung dua sisi yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Menyembelih hewan dan membagikan dagingnya pada fakir miskin adalah satu sisi syariat yang tidak boleh diabaikan. Akan tetapi, sisi ini bukanlah tujuan dari ibadah itu sendiri. Allah sendiri menjelaskan bahwa yang sampai kepada Allah bukan daging atau darah hewan kurban, melainkan ketaqwa­an pelaku kurban-lah yang sampai kepada Allah (Al ­Hajj/22:37). Ini artinya bahwa penyembelihan kurban adalah simbol ketundukan dalam menjalan­kan perintah Allah. Dan ibadah tidak boleh berhenti sebatas pada simbol, sebab jika ini yang terjadi, ibadah hanya akan menjadi rutinitas. 

Maka bersama kucuran darah, kita kurbankan segala kepentingan dunia, demi memenuhi panggilan Allah. Segala ketaatan kita letakkan di bawah ketaatan kepada Allah. Seluruh ketakutan kita letakkan di bawah katakutan kita kepada Allah. Semua kecintaan hanya boleh dan sah jika kita letakkan di bawah kecintaan kita kepada Allah. 

Bukan sebaliknya, demi kepentingan duniawi kita korbankan Allah. Kita korbankan tauhid. Panggilan kekuasaan mengorbankan ketaatan kita pada Allah. Kita menjadi lebih otoriter dibanding Allah. Seruan gelimang harta telah melupakan kita dari perjuangan. Kita menjadi serakah dan tamak; merasa paling kaya dan memiliki segalanya, lupa bahwa semuanya adalah milik Allah. Kita korbankan kejujuran demi panggilan korupsi. Kita korbankan moral dan kehormatan, hanya karena bisikan lawan jenis. Lantas sampai kapan, kurban menjadikan kita konsisten bertauhid?

Mohammad Nurfatoni

Tinggalkan komentar