“Saya Anak Stasiun Kereta”

:: OLEH-OLEH DARI PESANTREN SPMAA, TURI, LAMONGAN ::

Niat awal kami memang bersilaturrahim pada seorang kawan yang habis opname dari RS. Rupanya beliau tidak langsung pulang ke rumanya di Kota Lamongan, melainkan mau recovery dulu di Pesantren SPMAA (Sumber Pendidikan Mental Agama Allah), sebuah pesantren yang didirikan ayah beliau (almarhum Bapak Guru Mochtar) dan kini diteruskan oleh adik-adik beliau.

Maka, selain menjenguk beliau, akhirnya kami juga diperkenalkan lebih jauh tentang SPMAA. Dipandu oleh adik beliau yang juga sebagai direktur yayasan, kami diperjalankan keliling melihat sisi-sisi pesantran yang terletak di Desa Turi, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan.

Dalam perjalanan itu, melintas seorang santri. Entah sebagai basa-basi atau apa, kami sempat menanyakan asal santri tersebut. “Berasal dari mana Dik?” tanyaku. “Dari stasiun,” jawabnya singkat.

“Ah, pandai bergurau rupanya anak itu,” gumanku dalam hati. Tapi ketika kami tegaskan lagi pertanyaan tentang asalnya, dia tetap menjawab dari stasiun kereta. Kami terhenyak, sebab berharap jawaban yang keluar dari mulut anak itu adalah Madiun atau Bojonegoro, atau kota dan daerah lainnya.

Direktur yayasan mencoba memberi penjelasan atas keterkejutan kami, bahwa anak itu memang berasal dari stasiun kereta api yang “diketemukan” seseorang dan akhirnya dititipkan untuk diasuh dipesantren SPMAA.

Tidak terlacak siapa sanak kadangnya dan dari mana asalnya! Awalnya, komunikasinya juga susah. Satu-satunya “petunjuk” dia berasal dari daerah mana adalah kebiasaan memanggil wanita yang lebih tua dari dia dengan panggilan “Teteh”.

Dari pengakuannya, dia berasal dari Stasiun Senin Jakarta dan Stasiun Pasar Turi (yang akhirnya terdampar di Desa Turi)

##

Anak Stasiun Kereta di atas ternyata adalah satu dari sekian profil penghuni SPMAA. Sebab ternyata dalam perjalanan keliling pesantren, kami menjumpai puluhan lansia, beberapa orang gila dan korban traficking, atau ratusan lainnya yang umumnya korban marjinalisasi pembangunan; yang miskin (atau yang dimiskinkan?) dan tak berdaya secara ekonomi.

Tapi tentu tidak semua penghuni SPMAA adalah mereka yang mulanya bernasib tak mujur, sebab ada juga dari keluarga mampu dan baik-baik tetapi ingin mengunduh ilmu di SPMAA yang sangat unik itu.

Unik. Ya, mengapa unik? Pertama, filosofinya sangat unik. Secara formal kami tak hapal rumusan filosofi itu, tetapi barangkali bisa digambarkan oleh cerita yang kami dengar ini. Suatu saat datang seorang yang akan mengantarkan “gelandangan” untuk menjadi penghuni SPMAA. Tanpa surat apapun dengan kondisi yang sangat parah.

Oleh manajemen, awalnya mau ditolak, tetapi Bapak Guru memberi wejangan kepada anak-anaknya yang mengurusi manajemen, “Coba bayangkan jika yang kalian temukan itu emas berlian, tentu kalian akan berebut “merawatnya”. Tapi berhubung gelandangan, gembel, manusia tak “bertuan”, maka kalian enggan “memperebutkannya”. Padahal jiwa seorang manusia lebih berharga dari dunia seisinya.”

Dengan filosofi ini, maka SPMAA akhirnya menjadi rujukan bagi “penyelamatan” jiwa-jiwa yang tak bertuan. Seringkali polisi, aktivis LSM, atau masyarakat menitipkan mereka untuk diasuh di pesantren ini.

Kenyataan ini bukan saja unik, tapi sebenarnya aneh dan lucu. Sebab konstitusi mengamanatkan negara untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar. Sudah begitu, jika ada pihak swasta yang memelihara mereka, pemerintah terkesan mengabaikan; tidak memberi support yang maksimal.

Kedua, kemandiriannya yang unik. Dengan hanya dibantu oleh dinas sosial sekitar 1 ton beras per bulan (itupun baru-bari ini saja), pesantren ini harus “menghidupi” sekitar 450 “santri”. Padahal setidaknya sebulan dibutuhkan 3 ton beras; belum yang kebutuhan lainnya, termasuk biaya kesehatan (berobat) yang lumayan besar. Sementara di pesantren ini semua gratis, termasuk biaya sekolah (dari TK-SLTA).

Apa rumus kemandirian itu: (1) tawakkal dan berserah pada Allah. (2) hidup sangat sederhana; malah dengan sejumlah laku tirakat “puasa”. Kesederhanaan itu nampak sekali dari bangunan “gedung”nya; segala sumbangan masyarakat berupa pintu atau jendela bekas, palet, dan sebagainya bisa dirangkai menjadi bangunan. Satu-satunya bangunan “mewah” hanya masjid; karena prinsip “rumah akherat ” harus lebih baik dari “rumah dunia”.

Maka jangan heran jika rumah almarhum pendiri dan anak-anaknya, yang kini menjadi pengasuh, benar-benar dari sesek (bambu) dan beralas tanah yang dilapisi vynil plastik. (3) keterlibatan masyarakat; meskipun secara fiqh masih ada perbedaan dengan masyarakat setempat, tetapi karena secara sosial pesantren ini sangat membantu mereka, maka masyarakat pun antusias terlibat misalnya dalam dalam hal memasak di dapur umum,

Ketiga, semangat dakwah yang digelorakan pada santri juga unik. Dalam hal ini filosofi yang ditanamkan adalah bahwa keberhasilan seorang alumni bukan dilihat dari kekayaan atau jabatan yang diraih setelah hidup di masyarakat; melainkan sejauh mana amal shaleh yang telah dilakukan untuk kemaslahatan umat.

Kesuksesan alumni santri diukur oleh sejauhmana dia bisa mengembangkan dakwah di masyarakat, menyantuni anak yatim, membantu fakir miskin, memberi makan tetangga yang gak bisa makan, atau mendirikan masjid untuk pusat dakwah dan pendidikan.

Maka, untuk membekali itu sehabis lulus SLTA, para santri disebar ke berbagai pelosok nusantara hanya dibekali dengan tiket berangkat. Selama 3 bulan, mereka harus survival di masyarakat yang ditempati dan mampu melakukan kegiatan dakwah dan sosial. Setelah itu mereka ditarik ke pesantren untuk dilakukan evaluasi; dan biasanya mereka diminta kembali oleh masyarakat yang ditempati praktik itu.

AH, SEMOGA KITA TERKETUK JIWA (untuk membantu sesama, termasuk ke pesantren dalam cerita ini)! Maaf, jika ada yang kurang berkenan, atau salah dalam mengungkap fakta lewat tulisan ini!

Berbek, 31 Juli 2009
Mohammad Nurfatoni

Tinggalkan komentar