Pada malam yang gelap, di sebuah dusun terpencil, seorang nenek tua hendak bermaksud pergi ke kiwan (kamar mandi ala desa-sebuah bilik di pojok belakang rumah terbuat dari sesek [anyaman bambu] yang di dalamnya biasanya terdapat jombangan [kini, bak mandi] dan padasan [semacam kran untuk berwudhu zaman kini]).
Tidak jelas benar apa keperluan nenek tersebut pergi ke kiwan pada malam yang gelap gulita itu [maklum, listrik belum menyentuh keterpencilan desa itu]. Apakah untuk buang hajat atau hendak mengambil air wudhu untuk shalat? Atau malah, jangan-jangan, kegiatan ini sebuah rutinitas bagi nenek tersebut.
Bagi kebanyakan orang, rutinitas seperti itu mungkin bukan sesuatu yang aneh. Tapi bagi nenek tua yang ternyata buta ini, bukankah sesuatu yang menakjubkan? Bagaimana ia mampu menyusuri pojok belakang rumahnya dalam suasana pekat tanpa penerangan cahaya?
Ah, mengapa bertanya seperti itu, bukankah malam dan siang bagi si buta pada dasarnya sama: gelap? Ketakjuban kita mungkin bisa dialihkan pada kenyataan bahwa dalam keadaan tanpa indera mata——yang artinya dalam kondisi tidak bisa mengenali medan lingkungan——nenek buta tersebut masih bisa berjalan dan beraktivitas tanpa bantuan orang lain.
Tapi, dalam kasus nenek tua buta yang sedang menuju kiwan-nya di atas, lebih mengherankan lagi. Sebab ternyata, dia membawa obor! Maka, bertanyalah salah seorang tetangganya yang terheran-heran malam itu, “Mengapa nenek membawa obor, bukankah nenek sedang buta dan tak memerlukan cahaya lagi?”
“Oh, saudaraku, memang, saya tak lagi memerlukan cahaya obor ini. Justru obor ini untuk memberi penerangan pada kalian agar tidak menabrakku,” jawab nenek tua itu dengan tenang. Maka, terhenyaklah sang tetangga itu atas jawaban sang nenek. Jawaban yang sederhana, tapi banyak makna: sindiran dalam kearifan.
***
Apa yang bisa dipetik dari kisah di atas? Pertama, mata batin sang nenek ternyata telah mampu menggantikan mata lahirnya yang buta. Bahkan terlihat bahwa mata batin itu lebih tajam, lebih jernih, dan tak lagi “terikat” oleh ruang dan waktu. Sang nenek yang buta itu ternyata justru menjadi “juru penerang” bagi mereka yang memiliki kelengkapan indrawi.
Kedua, seringkali kelengkapan indrawi tidak otomatis menjadikan kita peka atau sensitive dalam merespon lingkungan dan fenomena-fenomena. Al Qur’an dengan jernih mengingatkan bahaya ketidakpekaan inderawi itu, ” Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahannam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati tetapi tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah” (Al A’raf/7:179).
Padahal, sesungguhnya kelengkapan indrawi adalah suatu anugerah besar dari Allah, yang bisa menjadi sarana untuk bersyukur, sebagaimana dijelaskanNya dalam Al Qur’an, “Dan Dialah yang mengeluarkan kami dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. Dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.” (An Nahl/16: 78).
Sang nenek tua yang buta di atas, seolah mengingatkan kita dengan sindiran yang sangat halus, bahwa betapa banyak yang punya indra penglihatan tetapi sesungguhnya buta; tidak mampu membedakan mana hitam mana putih; tidak sanggup menatap kenyataan diri. Banyak yang punya telinga tapi sebenarnya tuli; tidak bisa mendengar apalagi merespon peristiwa-peristiwa di sekitarnya. Tidak peka terhadap perubahan; tidak mendengar atas rintihan dan keluhan; tidak peduli terhadap jeritan dan tangisan. Begitu juga banyak yang punya hati tapi beku; tidak mampu berempati pada yang lain; tidak memiliki rasa simpati.
Inilah yang disebut sebagai sebuah ironi indrawi. Maka, orang yang demikian ini perlu diberi “obor”; diberi penerangan; diberi pencerahan; disadarkan dan difungsikan indrawinya agar mampu merespon setiap gejala dan fenomena; supaya mampu menangkap makna di balik peristiwa.
Maka, menarik untuk mengutip Bruno Guiderdoni (seorang intelektual Perancis yang memiliki nama “Muslim” Abdul Al-Haqq Ismail) ketika menjelaskan makna penting indrawi——sebuah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia sebagai sarana-sarana untuk “mengetahui”.
Dengan mengutip surat An-Nahl/16 ayat 78 di atas; beliau memaparkan bahwa pendengaran (al sam’) adalah kelengkapan manusia untuk menerima dan mematuhi petunjuk tekstual yaitu Al-Qur’an dan as-Sunah yang merupakan dua sumber pengetahuan religius. Pendengaran terkait erat dengan ketundukan pada kehendak Allah seperti yang juga dinyatakan oleh Al-Qur’an, “kami dengar dan kami taat” (sami’na wa atha’na). Maka, pendengaran di samping sebagai simbol sarana pengetahuan tekstual juga merupakan simbol ketaatan pada syariah.
Penglihatan (al-bashar) adalah indra pengetahuan yang memungkinkan manusia mengetahui, merenungkan atau berefleksi terhadap fenomena-fenomena [alam semesta]. Indra ini sangat erat hubungannya dengan pengetahuan rasional (sunnatullah di alam semesta).
Dan hati (qalb) adalah tempat intuisi pengetahuan dan kontemplasi tentang kebenaran, yang memungkinkan untuk menghubungkan ayat-ayat kauliyah (Al-Qur’an dan As-Sunah) atau ayat-ayat kauniyah (alam semesta) kepada Sang Khalik. Dari hati inilah akan lahir pandangan batin (al-bashirah) yaitu kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan langsung dari Allah, melalui penyingkapan spiritual.
Dengan memfungsikan secara optimal tiga sarana yang diberikan Allah kepada manusia tersebut, manusia akan menjadi makhluk yang gemilang karena ia akan memperoleh tiga “penyingkapan”, yaitu pertama, penyingkapan syariat karena ia mampu menelaah dan mematuhi hukum yang diwahyukan (syariah) yang disimbolkan dengan optimalisasi pendengaran; kedua, penyingkapan terhadap keteraturan dan keajaiban jagad raya karena ia mampu menelaah hukum yang ditorehkan Allah pada alam semesta yang disimbolkan dengan optimalisasi penglihatan, dan yang ketiga, penyingkapan batin yang ia peroleh langsung dari petunjuk Allah sebagai hasil olah hati. Semoga! (*)
Mohammadd Nurfatoni