Semut Itu “Raksasa”

Pagi itu, menjelang berangkat kerja, saya dikejutkan oleh sebuah peristiwa. Sebenarnya peristiwa itu biasa saja, apalagi sudah sering saya temukan. Tapi saat itu ada sesuatu yang lain, yang membuat saya tertegun sejenak. Saya pandangi titik di mana peristiwa itu terjadi, tepatnya di pojok pintu depan rumah saya.

Rupanya bangkai seekor belalang sedang digotong ramai-ramai oleh puluhan, mungkin ratusan, semut. Seketika pikiran saya tercenung, “Oh hebat sekali semut-semut itu!” Bagaimana tidak? Semut sekecil itu sanggup mengangat dan memindahkan bangkai belalang yang memiliki ukuran ratusan kali dari ukuran tubuhnya.

Uniknya, sekejap berkelebat pikiran berbeda; bukan lagi ketakjuban, “Ya pasti saja, wong yang menggotong bangkai itu ratusan semut.” Tapi, justru dari situ muncul ketakjuban lain, ternyata kebersamaan semut itu luar biasa! Mereka yang kecil, ringkih, dan lemah itu berubah menjadi kekuatan raksasa jika saling bekerja sama.

***

Kisah semut di atas menarik untuk ditelisik. Kearifan dan hikmah macam apa yang bisa kita petik dari semut, sampai-sampai Allah SWT berkenan mengabadikan semut (An Naml) sebagai salah satu surat dalam Al Qur’an? [Dalam surat itu sendiri, Allah SWT memberi informasi bagaimana reaksi semut tatkala Nabi Sulaiman as beserta para tentaranya akan menelusuri jalan di mana terdapat sekelompok semut. “Hingga apabila mereka (Sulaiman as bersama bala tentaranya) sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut: “Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarang kamu, agar kamu tidak dibinasakan oleh Sulaiman dan tentara-tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” (An Naml/27:18)].

Pertama, betapa sesuatu yang kelihatan musykil, sulit, atau tak mungkin ternyata bisa dilakukan, menjadi sesuatu yang nyata, dan benar-benar terjadi. Bukankah fakta bahwa semut yang kecil mampu mengangkat bangkai belalang yang besar, tidak lagi sebuah hal yang ganjil?

Maka, sesuatu, sesulit apapun, bisa di-”taklukkan” jika kita mampu menemukan cara, metode, atau taktiknya, serta dibarengi dengan kemauan (bekerja) keras. Syaratnya, jika kita tidak pernah mengenal segala dalih yang menunjukkan kekerdilan diri dan pemojokkan pihak ketiga yang bernama “kambing hitam”.

Kedua, semut mengajarkan bahwa kebersamaan merupakan senjata ampuh; yang dalam banyak hal akan mampu mengurai problem-problem. Bukankah seekor semut tidak akan mampu memindahkan bangkai belalang sendirian? Sementara dengan membentuk team work, akan terbangun sinergi besar sehingga terangkatlah bangkai belalang itu!

Maka, jangan pandang dunia ini hanya berisi kita seorang! Jalinlah komunikasi, sambunglah silaturrahim, dan lakukan koordinasi. Sebab kita tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah sendirian; sementara problem hidup tak akan pernah sepi bagi mereka yang masih menggenggam kehidupan!

Jangan pula kita merasa bisa hidup sendirian? Bukankah untuk sekedar sesuap nasi, kita perlu melakukan kerjasama yang melibatkan banyak pihak; mulai petani, pandai besi pembuat cangkul, produsen pupuk, pabrik penggilingan padi, jasa transportasi, pabrik plastik atau karung, pabrik kompor minyak atau kompor gas, kilang pengeboran minyak atau gas, pabrik panci, dan lainnya yang tidak bisa disebut satu persatu!

Sekali-kali bayangkan, bagaimana jika serangkaian kerja panjang itu kita lakukan sendirian; hanya untuk sesuap nasi. Sementara kita harus pula menyiapkan sehelai kain untuk pakaian; mendirikan rumah, dan seterusnya, yang semuanya dikerjakan sendirian!

Ketiga, kebersamaan itu meniscayakan kesiapan untuk saling berbagi. Tentu bukan hanya duka yang bi(a)sa kita bagi; suka pun harus disebarkan untuk kemaslahatan bersama. Ternyata, di samping memberi beberapa kearifan, sesungguhnya semut juga menyimpan sifat buruk. Sikap tercela semut yang tidak sepatutnya kita tiru adalah kebiasaan menimbun hasil jerih payahnya.

Sikap menumpuk kekayaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran pribadi bukanlah sikap yang kesatria jika kita menyadari betapa sesungguhnya kita tidak pernah akan bisa kaya dan menumpuk kekayaan jika kita hidup sendirian. Di dalam kekayaan itu terpendam jasa-jasa orang miskin. Para buruh pabrik, kulih angkut, petugas kebersihan, atau pembantu rumah tangga, adalah sebagian mereka yang berjasa atas kekeyaan kita itu.

Keempat, kita tidak boleh berhenti mengagumi semut yang memberi contoh kearifan itu sebatas pandangan kaum materialisme. Bahwa di balik semut itu ada Allah SWT. Dia-lah sesungguhnya yang mengajarkan kearifan dan hikmah itu lewat simbol atau tanda berupa makhluk kecil bernama semut, cipataan-Nya itu. “Sesungguhnya Allah tidak malu membuat perumpamaan berupa kutu atau yang melebihinya yakni lebih rendah atau lebih besar daripada itu, yang boleh jadi diremehkan atau dianggap tidak wajar dan tepat oleh orang-orang kafir.” (Al Baqarah/2:26)

Maka, semua fenomena atau peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar tidak semestinya diremehkan atau diabaikan. Sebab, pasti ada makna-makna di baliknya. Dalam bahasa Al Qur’an disebutkan, “Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta perbedaan malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang mau berakal (ulil albab)” (Ali Imran/3:190)

“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang hendak yakin, dan demikian pula dalam diri kamu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (Adz Dzariyat/51: 20-21)

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, perbedaan malam dan siang, bahtera-bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan (suburkan) bumi sesudah mati(kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi ini segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; (Pada semua itu) sungguh terdapat tanda-tanda kaum yang berakal.” (Al Baqarah/2:164)

Wahyu di atas menjadi pedoman baku, bahwa semua yang ada di lingkungan kita (alam semesta dengan segala komponennya) adalah tanda-tanda. Maka, jangankan semut atau belalang, batu dan tetesan air pun memberikan tanda-tanda. Seperti kisah seorang sahabat bernama Ibnu Hajar (Indonesia = Putra Batu), yang terinspirasi dan termotivasi kembali untuk belajar ketika ia mampu menangkap tanda berupa air yang lembut ternyata bisa mengalahkan cadasnya batu dengan tetesannya yang berulang-ulang.

Dengan memahami bahwa semua benda, makhluk, dan peristiwa mengandung tanda-tanda, maka bukan saja kita akan menemukan kearifan ketika berinteraksi dengan lingkungan sekitar, lebih jauh dari itu tanda-tanda itu akan menjadi petilasan kita menuju Tuhan. “Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa ia adalah haq/benar.” (Fushshilat/41: 53)

Maka, kesadaran kita harus terbangun bahwa benda, makhluk, atau peristiwa itu tidak pernah bisa dilepaskan dari pencipta dan penggeraknya, yaitu Allah SWT (pada kajian yang lebih dalam, misalnya dalam dunia tasawuf, bahkan dikatakan bahwa di balik tanda-tanda ada [wajah] Allah). “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah Yang Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah/2: 115) Semoga! (*)

Menganti, 27 Maret 2006

(Dimuat “Hikmah” pada http://www.cakrawala-print.com)