Ngaji Laku Mbecak

Saya ingin merasakan bagaimana beratnya jadi orang kecil, khususnya para tukang becak

Mbecak

:: Ilustrasi, foto oleh “Buta Warna” ::


Dua tahun saya absen bersilaturahmi pada beliau. Beberapa hari lalu alhamdulillah, saya disempatkan Allah kembali bertamu ke rumah beliau di sebuah kota di Jawa Timur.

Saya sedikit kaget saat mendapati di depan rumah terparkir becak dan dokar (tanpa kuda). Tapi saat tuan rumah tahu kedatangan kami, buru-buru beliau langsung mengajak kami masuk.

Di ruang tamu kami ngobrol sana-sini, akhirnya sampailah pada pembicaraan tentang becak yang sempat saya pikirkan di awal tadi.

Oh injih, sakniki kulo mbecak [Oh ya, sekarang saya jadi tukang becak],” penjelasan beliau pada kami soal adanya becak yang terparkir di depan.

Kami kaget dan hampir tak percaya jika beliau sekarang mbecak. Sebab kami mengenal beliau sebagai pengusaha dan (mantan) aktivis LSM. Termasuk orang yang berkecukupan dan terpandang di kota itu.

Tapi setelah mendapat penjelasan panjang lebar, kami percaya bahwa beliau benar-benar mbecak. Suka duka tukang becak akhirnya beliau ceritakan, misalnya bagaimana beratnya mengayuh (nggenjot) becak dalam rute yang panjang dengan beberapa tanjakan.

Bagaimana rasanya juga ketika mendapati ada penumpang yang membayar ongkos becak tanpa menampakkan muka (mengulurkan tangan dari pungung).

Niki yotro hasil kulo mbecak [ini uang hasil saya jadi ukang becak],” sambung beliau sambil menunjukkan lembaran uang Rp 1000, Rp 2000 Rp 5000, dan Rp 10 ribu, yang terleminanting rapi.

##

Jadi, selama ini di sela-sela kesibukannya, beliau “ngaji laku” dengan mbecak dan bergumul dengan para abang becak. Mungkin bisa disebut “nyamar mbecak“.

Dengan topi yang cukup untuk menutupi wajah seringkali beliau tidak dikenal termasuk oleh tetangganya, maka dalam beberapa kesempatan beliau “dicarter” tetangganya tanpa tahu siapa abang becaknya.

Kadang-kadang penumpang yang sudah dapat mengenali beliau di awal, tidak jadi menumpang, karena “Gak … gak jadi, gak kuat mbayarnya,” seloroh teman yang batal jadi penumpang itu.

Kenapa semua ini beliau lakukan? “Saya ingin merasakan bagaimana beratnya jadi orang kecil, khususnya para tukang becak,” kata beliau menjelaskan.

Dengan mbecak dan bergumul dengan para abang becak, beliau tahu betul betapa susahnya mencari uang Rp 20 ribu dalam sehari. Beliau juga tahu betapa berat beban yang dihadapi mereka.

“Hari ini banyak undangan resepsi, belum bayar arisan lagi,” salah satu keluhan yang beliau terima dari tukang becak.

“Bayaran sekolah anak saya nunggak,” keluh abang becak lainnya.

Tapi beliau juga merasakan betapa berharganya uang Rp 200 ribu saat bisa berbagi pada tukang becak. “Bagi kita, uang sebesar itu kan hanya untuk beli bensin, sementara bagi mereka, bisa menyelesaikan beberapa masalah,” komentar beliau.

#

Ah, hari itu kami sedang mendapati bukti laku lampah, blusukan yang sesungguhnya!

*) Pengalaman bertamu di Lamongan, 18 Oktober 2014

Tinggalkan komentar