Pribadi Muhammad SAW

Jika boleh bertanya—terlepas dari, bahwa hal ini sudah bagian dari suratan takdir—ada satu pertanyaan yang perlu diajukan untuk menjadi bahan kajian sejarah. Pertanyaan tersebut adalah, “Nilai lebih apakah yang dimiliki oleh beliau sehingga beliau dipilih oleh Allah menjadi utusannya?”

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus melihat latar belakang kehidupan beliau, sebelum beliau “resmi” menjadi utusan Allah. Pertama, dari sisi nasab—seperti yang sudah kita bahas sebelum ini—beliau berasal dari keluarga yang terhormat; dan jika diruntut lebih jauh, beliau adalah bagian dari keturunan Nabi Ibrahim as. Kedua, dari sisi kepribadian, kita akan melihat banyak sekali karakter kuat yang dimiliki beliau, diantaranya:

Al Amin. Inilah julukan yang diberikan penduduk Mekkah kepada beliau. Al Amin artinya yang dipercaya. Gelar ini diberikan karena kejujuran beliau. An Nashr bin Al Harits, musuhnya, pernah menyaksikan dan mengakui kejujuran Muhhamd saw. ”Semasa dia muda kamu suka kepadanya lantaran dia paling jujur, paling lurus perkataannya, paling setia memegang janji.” Abu Sufyan, musuh beliau juga waktu itu, pernah ditanya oleh Emperor Hiraclius, “Sebelum dia membawa seruan ini, pernahkah kamu kenal dia sebagai seorang pembohong?” Jawab Abu Sufyan, “Tidak pernah sekali-kali.” Bukti lain atas kejujuran beliau adalah dipercayakannya urusan perdagangan milik Khadijah, seorang saudagar kaya dan dihormati, kepada beliau.

Bersahaja. Beliau tidak mendapat harta waris yang melimpah. Ayahanda beliau, Abdullah, hanya meninggalkan lima ekor unta, sekelompok ternak kambing, dan seorang budak perempuan bernama Umm Ayman. Bahkan kesediaann beliau untuk mendapat upah dari menjalankan urusan dagang Khadijah ke Syam adalah berkaitan dengan kondisi ekonomi beliau. Inilah cuplikan percakapan beliau dengan Abu Thalib dan Khadijah soal itu. “Anakku”, kata Abu Thalib, “aku bukan orang berpunya. Keadaan makin menekan kita juga. Aku mendengar bahwa Khadijah mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi aku tidak setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?” “Terserahlah paman, “ jawab Muhammad. Abu Thalib pun pergi mengunjungi Khadijah. “Aku dengar engkau mengupah orang dengan dua ekor unta. Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor.” “Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan kusukai,” jawab Khadijah.
Ketika beliau akan diminta oleh Khadijah untuk mengawininya—lewat perantara Nufaisa bint Mun-ya—beliau berkata, “Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan!

Jiwa kepemimpinan; yang oleh beliau ditunjukkan dengan kemampuan untuk menggembala kambing. Secara filosofis, mengembala kambing memiliki makna kepemimpinan. Beliau bersabda, “Nabi-nabi yang diutus oleh Allah adalah pengembala kambing. Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad.” (Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad). Dalam Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisyam terdapat hadis lain berkaitan dengan ini, “Tidak ada nabi pun melainkan ia mengembala kambing.” Ditanyakan kepada beliau, “Termasuk engkau, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw bersabda, “Ya, termasuk aku.”

Jiwa kepemimpinan beliau terlihat ketika terjadi perselisihan peletakan hajar aswad antarkabilah Quraish tentang siapakah yang berhak meletakkannya. Akhirnya seorang yang dituakan, Abu Umayyah bin Al Mughirah al Makhzumi, memberi alternatif bahwa yang berhak meletekkan batu itu adalah dia yang pertama kali masuk ke Ka’bah melalui pintu Shafa. Ternyata yang pertama kali masuk adalah Muhammad saw. Maka, dengan sangat fantastis, Muhammad saw memberi terobosan penyelesaian masalah itu yakni dengan “melibatkan” seluruh kabilah atas peletakan Hajar Aswad dengan cara memegang ujung-ujung kain yang di tengahnya diletakkan batu itu. Dan akhirnya, beliau sendiri yang meletakkan batu tersebut pada bangunan Ka’bah.


Kemandirian. Kemandirian beliau dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, kondisi beliau yang ditinggal oleh orang tuanya sebelum beliau mengenalnya. Beliau ditinggal ayahnya saat masih dalam kandungan dan ditinggal ibundanya saat masih kecil. Tidak cukup itu, beliau ditinggal pula oleh kakeknya Abdul Muthalib, yang merawat sepeninggal ibundanya, saat masih berusia delapan tahun. Keadaan yatim-piatu dan kehilangan kakek ini tentu menempa jiwa beliau untuk bersikap mandiri. Kedua, persentuhan beliau dengan dunia perdagangan mengandung makna tersendiri dalam potret kemandirian ini. Seperti dikenal belakangan ini dunia entrepreneurship (kewirausahaan) adalah dunia yang lekat dengan kemandirian karena pengambilan keputusan lebih bisa dilakukan secara mandiri dibanding dengan dunia birokrasi. Sebelum menjalankan perniagaan Khadijah ke negeri Syam, Muhammad saw pernah juga berniaga dan berkongsi dengan seorang saudagar kecil bernama As Saa’ib bin Abis Saab (Hamka, Sejarah Umat Islam)

Clean. Beliau bersih dari anasir-anasir tercela. Pertama, beliau bebas dari penyembahan berhala. Salah satu fragmen percakapan Buhaira dengan Muhammad saw berikut ini menjadi salah satu argumennya. “Hai anak muda, dengan menyebut nama Al Lata da Al Uzza aku bertanya kepadamu dan engkau harus menjawab aku tanyakan kepadamu.” Buhaira bertanya seperti itu, karena ia mendengar bahwa kaum Rasulullah saw bersumpah dengan Al Lata dan Al Uzza. “Jangan bertanya tentang sesuatu apa pun kepadaku dengan menyebut nama Al Lata dan Al Uzza. Demi Allah, tidak ada yang sangat aku benci melainkan keduanya,” kata Muhammad saw. Kedua, beliau bersih dari pemikiran nafsu duniawi. Ketika beliau sedang mengembala kambing dengan seorang kawannya pada suatu senja, tiba-tiba terlintas dalam hatinya bahwa ia ingin bermain-main seperti pemuda-pemuda lain di gelap malam di Mekkah. Sesampainya di ujung Mekkah, perhatian beliau tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir di tempat itu. Tetapi tiba-tiba ia tertidur. Pada malam berikutnya beliau datang lagi ke Mekkah, dengan maksud yang sama. Terdengan oleh beliau irama musik yang indah. Ia duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi.

Beliau tidak pernah minum khamr, tidak pernah makan daging yang disembelih atas nama berhala, dan tidak pernah menghadiri pesta-pesta yang diselenggarakan untuk berhala. Beliau juga terjaga auratnya, bahkan sejak kecil tidak pernah telanjang kecuali pada suatu peristiwa yang akhirnya menyedarkannya kembali. “Pada masa kecilku, aku bersama anak-anak kecil Quraish mengangkat batu untuk satu permainan yang biasa dilakukan anak-anak. Semua dari kami telanjang dan meletakkan bajunya di pundaknya (sebagai ganjalan) untuk memikul batu. Aku maju dan mundur bersama mereka, namun tiba-tiba seseorang yang belum pernah aku lihat sebelumnya menamparku dengan tamparan yang amat menyakitkan. Ia berkata, ‘Kenakan pakaiannmu!’ Kemudian aku mengambil pakaiannku dan memakainya. Setelah itu aku memikul batu di atas pundakku dengan tetap mengenakan pakaian dan tidak seperti teman-temanaku.”

Puncak dari kebersihan Muhammad saw adalah kebiasaan beliau untuk melakukan tahannuf atau tahannuth (berasal dari kata hanif yang berarti ‘cenderung kepada kebenaran’), yaitu kebiasaan mengasingkan diri dari keramaain orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada Tuhan dengan bertapa dan berdoa. Dengan tahannuth beliau melakukan perenungan dan pencarian kebenaran.

Pemberani. Beliau sangat pemberani, karena pada umur empat belas tahun sudah ikut perang Al Fijjar, yaitu peperangan antara Quraish yang didukung Kinanah melawan Qais Ailan. Dinamakan perang fijjar karena melanggar tanah suci dan bulan-bulan suci (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab). Dalam perang ini beliau berperan membantu mempersiapkan anak-anak panah untuk paman beliau (dalam keterangan lain beliau ikut pula melemparkan panah).

Komunikator Ulung.
Hamka menulis bahwa Muhammad kenal betul akan kesukaan dan pergaulan bangsa Arab, demikian juga langgam bicara tiap-tiap negeri Arab. Tiap-tiap kabilah dilawannya berbicara menurut lidah kabilah itu! Perkataanya lemah manis tersusun dan tertib, berfasal, beratur, dapat dihafal dan dimenungkan, faham siapa yang mendengar, seakan-akan mutiara yang disusun layaknya. Kata Aisyah: “Rasulullah tidak pernah bercakap berseloroh sebagai cakapku ini, perkataannya tersusun, berhujung dan berpangkal.” Berkata Ibnu Abi Haalah, “Senantiasa dia berdukacita, selalu dia berfikir. Tak pernah senang diam, tidak dia bercakap kalau tidak perlu, panjang diamnya, dimulai perkataannya dan dikuncinya dengan teratur, perkataanya itu penuh berisi, tidak banyak bunga dan tidak terlalu ringkas, lemah manis tidak tegang dan tidak kendur.”

Budinya tinggi, pemaaf, penyantun, sabar, adil, tawadhu’, hormat pada orang tua, kasih pada yang muda, dermawan, bermalu

Diantaranya karakter kuat di atas, ada empat sifat asasi yang beliau miliki, yang oleh Said Hawwa (Ar Rasul, Gema Insani Press. Jakarta: 2003) wajib bagi setiap rasul Allah.

Ash Shidqul Muthlaq (kejujuran secara mutlak)

Al Iltizamul Kamil (komitmen dan sifat amanah yang             sempurna)

At Tablighul Kamil (penyampai kandungan risalah                 secara  sempurna).

Al Aqlul Azhim (intelegensi yang cemerlang).

Fisik yang Prima

Sebagai manusia, beliau dapat dilukiskan, bahkan dilukis, karena informasi tentang fisik, penampilan, dan perawakan beliau amat kaya. Kalau bukan karena penghormatan, atau kekhawatiran tentang dampak negatifnya, niscaya tidak ada larangan untuk melukis beliau, demikian pendapat M. Quraish Shihab (Secercah Cahaya Ilahi – Hidup Bersama Al Qur’an: Jakarta: Mizan, 2000; Baca juga Said Hawwa, Ar Rasul, Gema Insani Press. Jakarta: 2003).

Berikut adalah ciri-ciri fisik yang dimiliki oleh Muhammad saw: Tingginya sedang-sedang saja, tidak gemuk tidak pula kurus. Bahunya lebar, dadanya bidang, ototnya kekar, dan kepalanya sedikit besar. Rambutnya hitam gelap, sedikit ikal, terurai sampai ke pundaknya dan selalu tersisir rapi. Dalam usianya yang lanjut, hanya terdapat sekitar dua puluh lembar ubannya. Uban itu, menurut beliau, akibat ketegangannya saat menerima Surah Hud yang mengandung ancaman.

Mukanya bulat, menarik bagai purnama. Matanya hitam cemerlang dan bersinar, tetapi putih matanya sangat jernih. Bulu matanya hitam, panjang dan tebal sehingga terlihat bagaikan memakai celak.

Hidungnya mancung sedikit besar, giginya tersusun rapi dan diurusnya tidak kurang dari sepuluh kali sehari dengan menggunakan siwak. Kulitnya bersih dan lembut. Warnanya campuran “putih kemerah-merahan”.

Tangannya laksana sutra, bagai kelembutan tangan wanita. Langkahnya cepat dan luwes, seperti seorang yang turun dari ketinggian. Bahasanya jelas dan indah terdengar. Seringkali, ketika berbicara, beliau menggelengkan kepala atau menepuk telapak tangannya dengan jari telunjuk serta menggigit-gigit bibirnya. Kalimat-kalimatnya yang penting seringkali diulangi hingga tiga kali, agar dapat dipahami dan dicerna dengan baik oleh pendengarnya.

Bila menoleh, beliau menoleh dengan seluruh badannya; dan bila menunjuk; beliau menunjuk dengan seluruh jarinya. Perawakannya gagah, penuh wibawa, tetapi simpatik. Selalu tersenyum walau tawanya jarang dan gelaknya tidak terdengar.

Sidojangkung, 19 April 2005

Disampaikan pada kuliah Sirah Nabawi, BEST FOSI Surabaya

Satu komentar

Tinggalkan komentar