Selain puasa yang lazim kita lakukan, tidak makan, minum, dan berhubungan intim suam istri, seharusnya juga jika kita mengendalikan indera lahiriyah kita: lidah dengan puasa bicara, telinga dengan puasa mendengar, dan mata dengan puasa melihat. Puasa inilah yang disebut puasa tarikat (Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta llahi Pencerahan Sufistik, Rosda, 1999).
Pertama, puasa bicara. Puasa bicara lebih dari sekedar menahan lidah untuk tidak mengunjingkan orang, mencaci maki, menghujat dan menghujat balik, mengeluarkan kata-kata kotor. Lebih dari itu, puasa bicara meniscayakan kita hanya berbicara yang perlu-perlu saja atau yang betul-betul bermanfaat. “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka berkatalah yang baik atau diam,” pesan Rasulullah SAW.
Diantara faedah puasa bicara adalah kita bisa menjadi pendengar yang lebih baik. Bayangkan jika semua orang tidak mau menjadi pendegar melainkan ingin berbicara semua? Apalagi jika kata-kata yang dikeluarkan cukup pedas dan menyengat. Pasti akan terjadi kontroversi (pro-kontra), konflik, dan permusuhan. Lebih dari itu, bila kita puasa bicara, Allah SWT akan memperdengarkan kepada kita dengan sangat jernih suara hati kita. Dan lewat hati itulah, Allah SWT akan memberi petunjuk kepada kita. Sebaliknya jika kita terlalu banyak bicara, kita tak akan sanggup lagi mendengar “suara” Tuhan dalam hati nurani kita. Kita menjadi tuli karena kita terlalu bising oleh pembicaraan.
Puasa bicara juga mengandung pengertian jangan bicara tentang sesuatu yang tidak kita pahami. Jangan bicara hanya sekedar ingin menimbulkan kesan bahwa kita orang pintar. Jangan menjadi pakar segala bidang. Betapa komentar-komentar para “pakar” (ekonomi dan politik) kita beberapa waktu yang lalu, dan mungkin sampai kini-telah berhasil membuat masyarakat kita resah, gelisah, dan pusing. Mereka membuat banyak orang tidak tenang, menderita. Padahal menurut Nabi Muhammad SAW, “Orang lslam ialah orang yang [membuat] orang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya. “
Betapa berbahayanya pembicaraan kita yang didasarkan pada hal-hal yang tidak benar. Bukankah isu, intrik, dan desas-desus telah banyak memakan korban? “Ingatlah di waktu kamu menerima berita bohong dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya ringan saja. Padahal di sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu ‘Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.’” (An Nur/24:15-16).
Mari kita berpuasa bicara. Betapa tenang dan damai jika udara kita bersih dari pembicaraan-pembicaraan yang tidak berguna, bohong, dan menyakitkan.
Kedua, puasa mendengar. Puasa mendengar bukan saja menghindari upaya mendengar fitnah, gosip, isu, gunjingan, atau kata-kata jorok. Puasa mendengar juga berarti menyeleksi secara sadar apa yang akan kita dengar. Kita hanya mendengar apa yang kita pandang bermanfaat. “… Gembirakanlah hamba-hambaku, yang mendengarkan pembicaraan (yang bagus) dan hanya mengikuti yang paling bagusnya saja. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk Allah dan mereka itulah orang-orang bijak. “(Az Zumar/39:17-18).
Ketiga, puasa melihat. Puasa melihat bukan saja tidak melihat apa yang tidak boleh dilihat (aurat, kemaksiatan) tetapi juga tidak melihat hal-hal yang tidak perlu atau mengurangi melihat apa yang sebetulnya boleh dilihat. Tidak ada salahnya kita melihat-lihat pusat perbelanjaan. Tetapi terlalu banyak melihatnya akan menimbulkan keinginan-keinginan konsumtif, bahkan keinginan-keinginan yang tak terpuaskan. Jika yang kita inginkan lebih banyak dari yang kita peroleh, maka kita akan kecewa. Semakin banyak yang kita inginkan, semakin besar kemungkinan kita untuk frustasi. Sedangkan sumber keinginan lebih banyak berasal dari apa yang kita lihat.
Para penonton televisi kelas berat (heavy viewers), cenderung memandang dunia lebih tidak aman, dan, karena itu, mereka menjadi ketakutan dibanding penonton televisi kelas ringan. Lebih dari itu, bukankah melihat adalah sumber berbagai tindak kemaksiatan. Bukankah berzina, merampok, atau korupsi dimulai dari melihat?
Marilah kita puasa melihat. Allah SWT telah memerintahkan kita untuk menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan (An Nur/24:30). Nabi Muhammad SAW bersabda “Barangsiapa yang memelihara pandangannya, ia akan merasakan lezatnya keimanan dalam hatinya.”
Puasa berbicara, mendengar, dan melihat kita lakukan bersama-sama dengan puasa makan, minum, dan seksual guna mengendalikan hawa nafsu kita. Mulut (lubang berbicara, makan dan minum), mata (lubang melihat), telinga (lubang mendengar), dan alat genital (lubang seksual), di samping menjadi pintu-pintu masuknya berkah dan kemuliaan juga menjadi pintu masuk-keluarnya nafsu maksiat. Nah, puasa adalah kontrolnya!
Mohammad Nurfatoni
Dimuat Buletin Jumat Hanif, No. 21 Tahun ke-4, 24 Desember 1999
maaf,boleh kah saya meminta sedikit dari post ini? terimakasiih..silahkan dilihat kembali di datiedatie.multiply.com
terimakasih untuk tulisan berharganya
SukaSuka
Boleh. Asla tidak lupa sumbernya!
Trims, telah berkunjung.
SukaSuka
Tulisannya bagus, Ustadz… boleh saya taruh dicatatanku?
SukaSuka
oh, monggo Bu Riana, dengan senang hati!
SukaSuka
apa yang dimaksud dengan puasa bicara juga artinya tidak boleh bercanda????
SukaSuka