Satu Rumah Banyak Agama?

Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. (Ulil Abshar-Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, Kompas, 18/11/02)

 

Pendapat Ulil di atas dilandasi oleh keinginan bahwa umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai “masyarakat” atau “umat” yang terpisah dari golongan yang lain. Menurut Ulil, umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri.

Di samping alasan di atas, menurut Ulil, Al Qur’an sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu, karena Qur’an menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama.

Tentu saja pendapat Ulil ini, sebagaimana frame wacana Jaringan Islam Liberal (JIL), sangat membahagiakan para pelaku dan peminat perkawinan antaragama. Mungkin artis semacam Yuni Shara sangat berterima kasih kepada Ulil dan JIL karena status suaminya adalah non-­Islam. Bahkan seperti dilaporkan Media Dakwah (Jumadil A k h i r 1423/September 2002), di Batusangkar, Sumatera Barat setelah Dr. Zaenun Kamal, aktivis Paramadina dan salah satu konstributor JIL, melontarkan gagasan bolehnya wanita Muslimah kawin dengan lelaki Kristen, yang disiarkan lewat jaringan radio 68H Utan Kayu Jakarta, ­sejumlah wanita Muslimah dikawini lelaki Kristen.

Tapi bagaimana sebenarnya? M. Qurays Shihab, seorang ulama yang dianggap moderat pun, ternyata sependapat dengan jumhur ulama tentang larangan wanita Muslimah dinikahi lelaki non-Muslim sebagai sesuatu yang jelas telah diatur Al Qur’an. Dalam Wawasan Islam Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, beliau mengatakan, “Larangan mengawinkan perempuan Muslimah dengan pria non-Muslim­—termasuk pria Ahl Al Kitab—diisyaratkan oleh Al­ Quran. Isyarat ini dipahami dari redaksi surat Al ­Baqarah (2): 221, yang hanya berbicara tentang ‘ bolehnya perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, dan sedikitpun tidak menyinggung sebaliknya. Sehingga seandainya pernikahan semacam itu dibolehkan, maka pasti ayat tersebut akan menegaskannya.

Dalam pandangan Shihab, larangan perkawinan antarpemeluk agama yang berbeda itu agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Perkawinan baru akan langgeng dan tentram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antarsuami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan.

Laki-laki Muslim Menikahi Ahl Al-Kitab?

Jika ulama sepakat—kecuali, tentu, kelompok Islam Liberal—bahwa wanita Muslimah haram dinikahi laki-laki non-Islam, maka ulama berbeda pendapat tentang bolehnya laki-laki Muslim menikahi wanita non-Muslim yang Ahl Al-Kitab.

Yang tidak membenarkan berargumentasi dengan merujuk pada surat Al Bagarah/2 ayat 221, “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Dan janganlah kamu menikahkan orang-­orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman.”

Ayat di atas sekaligus menggugurkan surat AI Maidah/5 ayat 5 yang membolehkan laki-laki Muslim menikahi wanita Ahl Al-Kitab. Karena dalam pandangan kelompok ulama ini, sebagaimana diungkapkan Sahabat Nabi SAW Abdullah Ibnu Umar, bahwa tidak ada kemusyrikan yang lebih besar dari kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba Allah.

Pendapat sebagian ulama yang membolehkan perkawinan lelaki Muslim dengan wanita Ahl Al ­Kitab juga penuh dengan catatan kaki. Pertama, apakah konsep Ahl Al-Kitab berlaku juga bagi Yahudi dan Nasrani sekarang. Para ulama berselisih tentang hal ini.

Kedua, yang berpendapat bahwa konsep Ahl Al-Kitab masih berlaku sampai kini, masih mengingatkan bahwa Ahl Al-Kitab yang boleh dikawini itu adalah Ahl Al-Kitab yang diungkapkan dalam redaksi ayat tersebut [Al Maidah/5: 5] sebagai “wal mukshanat minal ladina utul kitab”. Menurut Shihab, kata al-muhshanat di sini berarti wanita-wanita terhormat yang selalu menjaga kesuciannya, dan yang sangat menghormati dan mengangungkan Kitab Suci.

Ketiga, perkawinan itu tetap dengan persyaratan, sebagaimana diungkapkan oleh Mahmud Syaltut, seperti dikutip Shihab: “Pendapat para ulama yang membolehkan [pria Muslim mengawini wanita Ahl Al-Kitab] itu berdasarkan kaidah syar’iyah yang normal, yaitu bahwa suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan anak-anak…Laki-laki diperbolehkan mengawini non-Muslimah yang Ahl Al-Kitab, agar perkawinan itu memmbawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik yang berbeda agama dengannya itu, sang istri dapat lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari dampak perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan beragama, serta hak­hak yang sempurna, lagi tidak kurang sebaik istri.”

Selanjutnya Mahmud Syaltut menegaskan bahwa kalau apa yang dilukiskan di atas tidak terpenuhi­—sebagaimana sering terjadi pada masa kini—maka ulama sepakat untuk tidak membenarkan perkawinan itu, termasuk oleh mereka yang tadinya membolehkannya.

Kalau seorang wanita Muslim dilarang kawin dengan laki-laki non-Muslim karena kekhawatiran akan terpengaruh atau berada di bawah kekuasaann yang berlainan agama dengannya, maka demikian pula sebaliknya. Perkawinan seorang pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab harus pula tidak dibenarkan jika dikhawatirkan ia atau anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Dengan demikian, maka kampanye desakralisasi Islam lewat pernikahan beda agama tidak saja patut dipertanyakan keabsahan landasan hukumnya, melainkan juga motif dan tendensi di belakanganya.

Mohammad Nurfatoni

Dimuat Majalah EKSIS No 11/Th II/2003