Ketika Tuhan Dipersandingkan

 

Di tengah kerumunan massa berkumandang doa, yang secara bergiliranan dipimpin dan dilantunkan oleh para pemuka agama. Dimulai dari pemuka Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Para umat pun, mengamini doa-doa itu.

Itulah gambaran doa bersama yang kini sering kita lihat. Terakhir, doa bersama dilakukan dalam rangka perdamaian di Irak. Jauh sebelumnya, doa bersama antarumat beragama ini itu juga dilakukan saat momentum pergantian tahun baru, saat terjadi tragedi bom Bali, atau pasca-kerusuhan Mei 1998.

Secara fisik, kegiatan seperti itu terasa wajar, dan baik-baik saja. Bagaimana tidak? Orang yang merasa masih ber-agama berdoa, memohon kepada “Tuhan” tentang persoalan berat yang sedang dihadapi bersama. Apalagi dipimpin oleh para pemuka agama, dari berbagai agama lagi. Maka lengkaplah sudah! Oleh karena itu jangan heran jika kegiatan seperti ini menjadi kecenderungan umum (atau sebuah kelatahan baru?).

Tapi, benarkah demikian? Adian Husaini, MA, salah seorang tokoh KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Islam) pernah mengkritik habis-habisan “ritual” doa antarumat beragama ini. Krtitik Adian tidak sendirian. Ustadz Heru, aktivis pergerakan Islam lainnya, juga mengecam kegiatan itu. “Ritual doa bersama itu adalah sebuah penghinaan terhadap Islam; penghinaan kepada Allah Azza wa Jolla,” paparnya. “Allah yang Esa kok disandingkan dengan para tuhan ajaran syirik.”

Dalam pandangan trainer perbandingan agama ini, doa bersama itu memuat banyak kejanggalan. Yang paling kentara adalah ditabraknya nilai lakum diinukum waliyaddin (bagimu agamamu dan bagiku agamaku). “Doa bersama itu sesungguhnya telah mencampuradukkkan syariat Islam dengan “syariat” agama lain,” katanya. “Dalam Islam diajarkan bahwa sebelum berdoa kita disyaratkan memuji-muji dan mengagung-agungkan Allah, misalnya dengan membaca asmaul husna. Sementara dalam doa bersama itu, doa umat Islam justru didahului atau diikuti oleh puji-pujian terhadap sekutu-sekutu Allah, yang dilakukan pemeluk agama lain. Ini jelas termasuk jenis bid’ah yang sangat fatal. Itulah syirik,” paparnya lebih lanjut.

Kejanggalan lain, menurutnya, fenomena doa bersama antarumat beragama ini justru menafikan obyektifitas dan realitas adanya agama-agama. “Logikanya, kalau yang dituju oleh doa itu adalah tuhan yang sama, mengapa harus memakai tata­ cara yang berbeda? Kalau begitu mereka tak perlu memeluk agama yang berbeda dong. Toh, tuhannya sama?” katanya. “Atau kalau yang dituju itu tuhan mereka masing-masing, justru ini keanehan yang lain. Itu tidak mungkin karena sifat Tuhan yang berkuasa penuh mustahil berbilang. Dengan demikian, pasti ada tuhan atau agama palsu,” jelasnya.

Jadi, sebuah kekonyolan jika Tuhan asli dipersandingkan dengan para tuhan palsu!

Mohammad Nurfatoni

Dimuat Majalah Eksis No. 11/Th II/2003