Pro Kontra TAP N0. XXV/MPRS/1966

Gagasan pencabutan Tap No. XXV/MPRS/1966 yang dilontarkan oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid tak urung telah melahirkan gelombang protes, khususnya di kalangan umat Islam. Secara politis, penolakan gasasan pencabutan itu cukup bisa dipahami, terutama jika kita kaitkan dengan sejarah komunisme dalam hubungannya dengan umat Islam Indonesia pada masa silam. Namun, dalam perspektif filosofis-normatif, sesungguhnya tidak cukup alasan bagi umat Islam untuk menolak gagasan tersebut.

Selama ini, paling tidak, ada tiga argumentasi pokok (di luar argumentasi politis) yang biasanya dikemukakan umat Islam dalam menolak usulan pencabutan Tap No. XXV/MPRS/1996: 1) komunisme itu identik dengan atheisme, sebuah pandangan hidup yang tidak mempercayai adanya Tuhan; 2) komunisme tidak cocok hidup di Indonesia yang penduduknya beragama; 3) komunisme dalam perjuangannya menghalakan segala cara.

Tulisan ini mencoba membuktikan bahwa alasan-alasan tersebut tidak cukup kuat dipakai umat Islam dalam menolak gagasan Abdurrahman Wahid tersebut. Pertama, benarkah orang komunis itu tidak bertuhan? Jika pertanyaan itu kita kaitkan dengan konsep ketuhanan yang diajarkan Islam, maka sudah pasti jika pertanyaan itu ditolak. Artinya, tidak ada dalam realitas orang yang tidak bertuhan, meskipun secara teori bisa saja orang memproklamasikan dirinya sebagai orang yang tidak bertuhan (atheis).

Tuhan, meminjam Imaduddin’ Abdulrahim (Kuliah Tauhid, 1987), adalah “sagala sesuatu yang dipentingkan sehingga kita rela dikuasai atau didominasi“. Dengan rumusan seperti itu, maka bisa dipastikan jika tidak ada orang yang tidak bertuhan. Semua orang pasti bertuhan, karena dalam kehidupan seseorang pasti ada sesuatu yang mendominasinya, sehingga yang mendominasinya itu amat dipentingkan atau amat ditakuti, melebihi segala-galanya.

Orang komunis, meskipun tidak percaya pada Tuhan, pada dasarnya dia bertuhan. Lantas, siapa tuhan orang komunis? Itu sangat tergantung pada apa atau siapa yang mendominasi kehidupannya. Bisa jadi tuhannya berupa ajarannya, pemimpinnya, atau dirinya sendiri. Dalam bahasa Nurcholish Majid (Pintu Pintu Menuju Tuhan; 1996), orang-orang komunis itu ternyata tidak berhasil benar-benar menjadi atheis. Kalau atheis diartikan tidak mempercayai Tuhan dalam kategori agama-agama formal semacam Yahudi, Kristen, Budhisme, Konfusianisme, dan lain-lain, maka memang benar orang komunis itu atheis. Tetapi kalau atheis berarti bebas dari setiap bentuk pemujaan, maka orang komunis adalah orang yang kelompok manusia pemuja yang paling fanatik dan tidak rasional.

Gejala pemujaan ini misalnya bisa dilihat dari pemandangan harian di lapangan Merah Moskow. Deretan panjang orang antre untuk berziarah ke mousoleum Lenin, dengan sikap yang jelas-jelas bersifat “devotional” (pemujaan) seakan meminta berkah kepada sang pemimpin yang jenazahnya terbaring di balik kaca tebal itu.

Memang, pemimpin-pemimpin besar komunis pernah “dipertuhankan” pengikutnya: Stalin di Uni Sovyet (kini, Rusia), Mao Ze Dong (Mao Tse Tung) di RRC, Kim I1 Sung di Korea Utara. Mereka memang tidak mengakui pemimpin-pemimpin itu sebagai “tuhan-tuhan”, tetapi sikap mereka jelas menunjukkan”prosesi” penuhanan.

Fenomena orang bertuhan yang mengaku tidak bertuhan seperti pengikut komunisme ini dapat kita telaah misalnya lewat penuturan AI Qur’an surat AI Jaatsiyah/45:23, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya”. Oleh karena itu di dalam Al Qur’an tidak dikenal istilah atheis, sekalipun dalam bahasa Arabnya.

Dengan demikian, dalam pandangan Islam kesalahan penuhanan yang dilakukan oleh orang komums tidak jauh berbeda dengan kesalahan penuhanan yang dilakukan oleh pengikut ajaran lain. Yang mungkin membedakuinya hanyalah bahwa orang komunis menyembunyikan konsep ketuhanannya yang salah itu dengan mengatakan bahwa dia tidak bertuhan, sementara penganut ajaran lain secara terang-terangan memperlihatkan konsep ketuhanannya yang salah itu.

Kedua, meskipun secara populer disebut ideologi, sebenarnya—dalam perspektif normatif-filosofis—komunisme bisa juga dikategorikan sebagai dien (agama). Karena pada dasarnya Islam memandang setiap strukturisasi pandangan hidup adalah dien (lihat misalnya penggunaan kata dien dalam surat Yusuf/12:76 yang bermakna undang-undang). Dan karena itu, penyandangan gelar dien tidak terbatas pada agama formal saja, melainkan juga pada agama-agama semu (ideologi/isme, atau bahkan aliran kebatinan).

Dalam hubungannya dengan dien lain, Islam telah mengaturnya dengan ajaran toleransi, bahwa mereka tetap diberi kebebasan atas pilihan yang salah itu. Beberapa ajaran yang sangat populer tentang itu misalnya “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)” (Al Baqarahl2256); “Untukmu agamamu dan untukku agamaku” (Al Kafirun/109:6); “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya” (Yunus/10:99).

Oleh karena itu komunisme boleh saja hidup, sebagaimana agama, ideologi, atau kepercayaan lain selain Islam. Inilah yang dimaksud dengan demokrasi agama yang dikembangnkan Islam. Dalam kaitan ini, maka sesungguhnya Tap No. XXV/MPRS/1966 yang antara lain berisi larangan pengembangan dan penyebarluasan ajaran komunisme tidak relevan lagi.

Mungkin timbul pertanyaan, bagaimana jika toleransi yang diberikan oleh Islam itu dibalas oleh komunisme dengan sikap antitoleransi atau antidemokrasi? Jika itu yang terjadi, maka pertarungannya ada di lapangan. Artinya, di sinilah konsep jihad mendapatkan tempatnya. Jadi, dengan kata lain secara institusional tidak dibenarkan untuk melarang-larang perkembangan sebuah ideologi dan agama. Sebagaimana umat Islam juga akan melawan jika secarainstitusional perkembangan agamanya dihambat dengan berbagai produk perundangan, seperti pemberlakuaan asas tunggal pada masa Orde Baru.

Ketiga, memang benar komunisme—paling tidak jika dilihat dari sejarah Partai Komunis Indone­sia di Indonesia—menggunakan segala cara sebagai alat untuk mencapai tujuan, terutama jika dilihat dalam praktik kekerasan dan kelicikannya. Tetapi jika kita mau bersikap proporsional, tidak hanya komunisme saja yang beprinsip seperti itu. Ideologi kapitalisme, yang menjadi kontra ideologi komunisme, juga menghalalkan segala cara. Sementara ideologi kapitalisme tidak kita larang, bahkan dipraktekkan dalam sistem ekonomi Indonesia, meskipun dibungkus dengan label yang lain (Arief Budiman pernah menyebut “kapitalisme malu-malu”, atau Eggi Sudjana menyebut “malu-maluin kapitalisme”).

Seperti kita pahami bersama, kapitalisme sebenarnya bermula dari filsafat ekonomi yang berlandaskan pada dua hal: kebebasan berusaha (free enterprise) dan efisiensi kerja (high technol­ogy), yang secara definitif bisa diartikan sebagai sistem ekonomi yang di dalamnya aset-aset produksi dimiliki pribadi dan hasil produksi ditujukan kepada pasar. Dalam perkembangannya, ternyata prinsip-­prinsip ekonomi kapitalisme akan sangat berpengaruh pada banyak bidang, tak terkecuali di bidang sosial-budaya-politik. Dalam konteks inilah kita bisa melihat hubungan antara kapitalisme sebagai prinsip ekonomi dengan kapitalisme sebagai ideologi.

Ketika sistem ekonomi kapitalisme berorientasi pada keuntungan besar (profit oriented) dan pasar bebas maka terjadilah persaingan yang sangat ketat. Untuk memenangkan persaingan itu akhirnya ditempuhlah berbagai cara, diantaranya: 1) menjadikan buruh sebagai faktor produksi yang harus ditekan tingkat efisiensinya dengan cara memberi upah dan kesejahteraan yang sangat rendah; 2) berkolaborasi dengan penguasa sehingga terjadilah campur tangan pengusaha dalam kebijakan negara sehingga melahirkan, diantaranya, kebijakan-kebijakan monopolitis; 3) ekspansi besar-besaran untuk memperluas pasar dan atau sumber daya alam diantaranya dengan proyek imperialisme—baik dalam pengertian klasik maupun imperialisme model baru. Dan, seperti kita ketahui, implikasi-implikasi kapitalisme tersebut, bukan saja telah melahirkan penderitaan fisik pada berbagai bangsa, melainkan juga mengakibatkan krisis ekonomi pada banyak negara, sebagaimana yang dialami bangsa Indonesia, dulu dan kini.

Paparan singkat tentang kapitalisme tersebut, menunjukkan betapa ideologi kapitalisme tidak kalah jahatnya dengan ideologi komunisme. Jadi, jika “menghalalkan segala cara” dijadikan alasan untuk menolak komunisme, maka seharusnya juga dipakai untuk menolak kapitalisme.

Tulisan ini, tentu saja, tidak dimaksudkan sebagai dukungan terhadap ideologi komunisme. Penulis hanya ingin menempatkan persoalan pada proporsinya, bahwa tidak seluruh argumentasi penolakan gagasan pencabutan Tap No. XXV/MPRS/1996 relevan dan argumentatif. Justru banyak dari argumentasi yang dipakai berbalik menjadi pembenar terhadap gagasan pencabutan Tap tersebut, sebagaimana dijelaskan di atas. Maka, satu-satunya argumentasi yang sebenamya bisa dipakai hanyalah argumentasi politik; sebab politik akan berbicara tentang kekuasaan, tentang kawan dan lawan. Maka, dalam konteks seperti ini perlu dirumuskan, apakah komunisme adalah lawan umat Islam atau justru sebaliknya kawan umat Islam untuk meruntuhkan kapitalisme? Wallahu a’lam!

Mohammad Nurfatoni, aktivis Forum Studi Islam (FOSI) Surabaya
Pada diskusi “Ide Pencabutan
TAP No. XXV/MPRS/1966 oleh Gus Dur
Oleh LPPIS –FOSI Surabaya, semasa Presiden KH Abdurrahman Wahid