Hidup Penuh Kesadaran

Ketika kapal karam, sekoci itu sendiri nyaris karam. Hujan dan gemuruh ombak membuat sekoci penuh air. Mereka beradu cepat membuang air ke laut. Pagi harinya, badai reda. Di tengah laut, mereka menemukan roti yang sudah kaku dan botol kecil air ukuran seperempat. Setelah itu praktis mereka bertahan dengan menenggak air laut atau air hujan.

 

Alinea di atas adalah cuplikan laporan Tempo (14 Januari 2007) tentang kisah 15 orang penumpang Kapal Motor Senopati Nusantara yang karam di perairan Masalembo, Jawa Timur, 29 Desember 2007. Mereka terombang-ambing dalam sekoci selama 6 hari sebelum berhasil mendarat di pantai Kangean, Madura.

Apa yang menarik dari kisah di atas? Tentu banyak, jika kita berkenan menggalinya. Cuma dalam tulisan ini kita hanya mengambil satu sisi saja, yaitu berkaitan dengan ”roti yang sudah kaku dan botol kecil air ukuran seperempat”.

Seringkali dalam keadaan berlimpah atau normal, kita tidak merasakan betapa penting dan berharganya sepotong roti atau segelas air putih. Setiap suap nasi yang kita makan, atau seteguk air yang kita minum, meluncur begitu saja masuk kerongkongan. Tidak terbesit misalnya, perasaan betapa berharganya barang itu! Atau terselip rasa syukur, ”Alhamdulillah, hari ini kita masih dapat makan dan minum.”

Mengapa begitu? Karena tersedia makanan dan minuman yang cukup, bahkan melimpah, sampai-sampai seringkali kita menyisakan atau membuangnya percuma.

Pertanyaannya adalah, apakah selamanya kita bersanding dengan kecukupan dan kelimpahan? ”Ya,” mungkin jawab Si Kaya. Jawaban yang cukup pongah, saya kira. Sebab kita tidak tahu bagaimana nasib kita di hari-hari esok.

Siapa sangka orang (kaya) Jakarta sangat mendambakan nasi bungkus! Tentu saja, di tengah kepungan banjir: padamnya listrik, matinya sambungan telekomunikasi, terendamnya dapur dan logistiknya; apa yang mau dimakan kalau bukan nasi bungkus bantuan orang lain. Pada saat seperti ini, nasi bungkus baru berharga?

Maka, menjadi penting untuk membarengi setiap gerak hidup kita dengan keasadaran. Saat memasukkan sesuap nasi dalam mulut harus dibarengi kesadaran betapa berharganya butiran-butiran putih itu—apalagi bagi mereka yang susah karena kehilangan pekerjaan atau sedang menjadi pengungsi bencana! Lebih-lebih lagi bagi kaum fakir miskin yang berat sekali membeli beras dengan harga melonjak sampai Rp. 6.500,- per kg, seperti situasi kini.

Kesadaran itu akan menumbuhkan dua macam implikasi. Pertama, secara internal kita akan tergiring menjadi hamba Allah yang bersyukur karena masih diberi banyak karunia, misalnya berupa makanan (lezat!) tadi. Rasa syukur ini sekaligus menjadikan kita berhati-hati agar tidak terjerat dalam tradisi kemubadziran: menyia-nyiakan, membuang-buang, dan berfoya-foya atas karunia Allah.

Kedua, secara eksternal kita akan tergerakkan untuk membagi kecukupan dan kelimpahan rizki kepada orang lain yang sangat membutuhkan. ”Ah, siang ini aku makan masakan lezat, jangan-jangan masih ada orang lain yang tidak makan ya?” begitulah seharusnya ungkapan kesadaran yang selalu muncul.

Ketika di tempat lain ada kesusahan, kita tergerak untuk saling membantu. Tidak cuek-bebek, saat mendengar dan melihat musibah sedang menimpa orang lain. Tidak medit, melainkan loman pada sesama yang membutuhkan.

Begitulah seterusnya membangun kesadaran. Saat memakai air; tumbuhkan kesadaran betapa pentingnya air; dan bayangkan bagaimana rasanya jika tidak ada air atau sebaliknya saat kelebihan air (banjir). Maka gunakan air secukupnya sekalipun kran kita tak terputus limpahan air! Apakah kita harus menunggu kekeringan untuk bisa merasakan betapa pentingnya air? Apakah kita baru berhemat air saat lagi kekurangan air?

Atau, kembali pada kisah di atas, apakah kita harus menunggu terombang-ambing berhari-hari di laut hanya untuk menyadari betapa pentingnya sepotong roti dan seteguk air bagi kehidupan! Wallahu a’lam!

Menganti, 14 Pebruari 2007

Mohammad Nurfatoni

Dimuat Buletin Jumat Hanif, pekan ke-3 Pebruari 2007